
Menjadi Kyai Perintis Al Falah
MENGEMBAN AMANAH MENEBAR ILMU
Dari Karangkates Haji Djazuli Ialu pulang ke Ploso dengan diikuti seorang santrinya bernama Muhammad Qomar, lucunya santri itu tidak lain adalah kakak iparnya sendiri yang tak mau berpisah dengannya. Karena di Ploso ia belum memiliki tempat tinggal, maka ia bersama santri satu satunya itu tinggal di bilik utara masjid kenaiban. Seandainya yang menjabat naib waktu itu bukan Bapak Iskandar, kakak kandungnya sendiri mungkin ia tak boleh menempati bilik itu.
Pertengahan tahun 1924 dari seorang santri dan satu masjid ini Haji Djazuli mulai merintis pesantren. la meneruskan pengajian untuk anak anak desa sekitar Ploso yang sudah dimulainya dengan pulang pergi sejak ia masih berada di Karangkates. Jumlah murid pertama yang ikut mengaji ± 12 orang. Dengan ikhlas ia membimbing murid-muridnya demi menjalankan amanah yang dibebankan kepada orang yang sudah memiliki Ilmu. la merasa wajib menyebarkan ilmunya semata mata karena perintah Allah, bukan karena ambisi ingin menjadi tokoh yang disegani berpengaruh dan dihormati, apalagi untuk mencari keuntungan materi. Dibimbingnya santri yang sedikit itu dengan telaten dan penuh kesabaran lewat sistem sorogan, dibacakannya makna gandul (makna berbahasa jawa dari kitab kuning ala pesantren) kepada murid muridnya, Ialu disuruhnya murid murid itu mengulang makna tadi secara bergantian. Dibetulkannya apabila ada yang salah membaca dengan cara yang baik dan bijaksana, bahkan dengan senang hati ia menuliskannya di kitab murid muridnya apabila sang murid menyodorkan kitab beserta pulpen berikut tintanya. Diterangkannya materi pelajaran dan permasalahan dengan jelas dan tuntas.1)
Semangat yang ditunjukkannya ketika mengajar di hadapan berpuluh puluh orang ketika masih di Mojosari, Mekkah, Tebuireng, Tremas dan Karangkates tidak berbeda dengan menghadapi seorang santri di serambi masjid Dan begitu juga sikapnya ketika mengajar ratusan santri di kemudian hari. Sungguh ia mengajar bukan untuk sanjungan, namun semata mata demi perintah Allah.
Itulah rahasia keberhasilannya dan itulah modal awal satu satunya yang ia miliki. Tak ada modal harta sepersenpun, tak ada sejengkal tanah, yang dimilikinya, bahkan apa yang hendak dimakan besok pagi saja ia tak mengerti.
Di saat saat itu ia selalu ingat pesan Kyai Zainuddin, guru sekaligus mertuanya, “Le ngajiyo! senajan ora duwe santri”.*) Kata kata itulah yang selalu membakar semangatnya dan tak pernah padam selamanya. Bahkan. sampai terbawa bawa ke dalam mimpi, seringkali ia bermimpi didatangi oleh Kyai Zainuddin dan diperintahkan untuk mengajar ngaji.2) Dan di suatu malam ia bermimpi menggendong mayat, Ialu tiba tiba mayat tersebut hidup. Esok paginya ia menceritakan perihal mimpinya itu dan ia melanjutkan : “Jarene arep hasil sejane” (jadi akan berhasil rencananya), sebagaimana layaknya kepercayaan orang orang tua tentang ta’bir mimpi menggendong mayat.
Hari demi hari kian banyak orang yang tahu kalau Mas’udnya Kyai zainuddin alias blawong yang telah melanglang buana memburu ilmu dari ujung timur di Sidoarjo sampai ke ujung barat di Mekkah kini telah pulang menebarkan ilmunya di kampung kelahirannya, maka banyaklah anak anak desa sekitar bahkan dari wilayah yang agak jauh datang ke Ploso mengikuti pengajiannya.
Di penghujung tahun 1924 itu seorang santri Tremas bemama Abdullah Hisyam asal Kemayan (± 3 km selatan Ploso) datang bertamu kepada Haji Djazuli sambil membawa salam dan surat surat dari sahabat lamanya. Kedua orang yang merasa sama sama satu almamater (seperguruan) di Pondok Tremas itu beramah tamah sampai lama. Haji Djazuli bertanya tentang gurunya Hisyam, tentang kitab-kitab yang dikuasainya dan masalah masalah kesulitan yang dihadapinya. Setelah dialog terasa cukup, Ialu Haji Djazuli melanjutkan, “Sudahlah! tidak usah mondok ke sana ke mari, tinggal di sini saja ikut ngaji bersama saya, fainnalhuda hudallah.” “Alhamdulillah”, seru Hisyam dengan suara datar. Hisyam merasa senang sekali karena kepergiannya ke Tremas satu setengah tahun yang Ialu sebenarnya ingin mengikuti pengajian Haji Djazuli di samping Kyai Dimyathi, namun sayang sekali rencananya itu tak dapat terlaksana karena sesampainya di Tremas Haji Djazuli baru saja boyong (pulang ke Karangkates), maka Hisyam benar benar lega mendengar tawaran Haji Djazuli daii mantaplah ia mulai saat itu untuk berguru sambil mengajar membantu gurunya. Konon Hisyam bukanlah orang yang cerdas tapi berkat ketekunan dan kesabaran Haji Djazuli membimbingnya ditanmbah kemauannya yang membaja ia mampu tampil sebagai guru yang berbobot dan merupakan salah seorang pelopor berkembangnya Pondok Ploso di masa masa berikutnya. Bahkan setelah ia pulang ke kampungnya di dusun Kemayan ia menjadi Kyai yang cukup disegani.
Haji Djazuli semakin optimis (berbesar hati) akan berhasil mendirikan Madrasah dan Pondok Pesantren yang punya masa depan gemilang. Tiba tiba ia dipanggil oleh Kyai Zainuddin, guru sekaligus mertuanya, maka ia segera berangkat ke Mojosari. Tak pernah diduga sebelumnya Kyai Zainuddin berkata “Kowe biyen anakku, saiki yo anakku Mulo Pondok iki (Mojosari) terusno opo dene omahku, sawahku iki mbesok pandumen karo Zaini (putra angkat beliau).”*) Bak disambar petir di siang bolong, Haji Djazuli terperanjat di depan gurunya yang dihormatinya sekaligus mertuanya tercinta. Betipa tidak, ia sudah memiliki kemantapan hati untuk mendirikan Pondok di Ploso, sementara gurunya menginginkannya meneruskan Pondok Mojosari, suatu perbedan pendapat yang sulit dipecahkan.
Dengan sangat terpaksa ia menjawab dengan penuh kejujuran babwa ia sudah mantap untuk mendirikan Pondok di Ploso. Jawaban ini membuat Kyai Zainuddin kecewa dan marah. Bukankah sejak Haji Djazuli masih menjadi santri pengabdiannya terhadap Pondok Mojosari sudah ditekankan oleh Kyai dan agaknya Kyai sangat berharap agar Haji Djazuli benar benar tampil sebagai generasi penerus pimpinan Pondok Mojosari.
Haji Djazuli pulang ke Ploso dengan perasaan gundah, hatinya sedih karena telah berani menyakiti perasaan gurunya. la amat khawatir akan kelangsungan cita citanya tanpa mendapat ridlo dan dukungan dari gurunya sekaligus ayahnya yang telah berjasa besar dalam hidupnya. Namun apa hendak dikata perbedaan pendapat tak bisa dihindarkan.
Agaknya permasalahan berat yang dihadapi oleh Haji Djazuli ini sampai juga ke telinga Kyai Hasyim Asy’ari, sehingga beliau memerlukan diri untuk menjernihkan permasalahan dengan berperan sebagai penengah, beliau segera sowan (menghadap) kepada Kyai Mojosari dan menjelaskan duduk perkaranya dengan penuh diplomatis lagi bijaksana. “Sampun kersanipun menawi pancen Haji Djazuli kepingin badhe dhamel Pondok wonten Ploso nggih sak kersanipun”.*) begitu di antara kata yang disampaikan Kyai Hasyim Asy’ari. Kemudian hilanglah kesalahfahaman Kyai Mojosari dan beliau dapat mengerti serta akhirnya merelakan kehendak menantunya.3)
LIKU LIKU DI AWAL 19254)
Hilang sudah keraguan di hati dan mantaplah Haji Djazuli meneruskan perjuangannya membina dan mendidik murid muridnya. Maka dengan ucapan Bismillah dan bekal Tawakal dibentuknya sebuah Madrasah. Surat permohonan pemantauan kepada pemerintah Belanda untuk lembaga baru yang kemudian dikenal dengan nama Al Falah itu tertanggal 1 januari 1925. Karena Madrasah tersebut belum punya gedung maka tempat belajamya menggunakan serambi masjid. Inilah awal keberangkatan Haji Djazuli menjadi seorang Kyai di usia yang masih muda 25 tahun.
Hisyam sudah enam bulan digembleng oleh Kyai muda, banyak peningkatan yang diperolehnya dan siaplah ia untuk mengajar di tingkat yang lebih rendah, maka Kyai Djazuli memerintahkannya untuk mengajar di malam hari sehabis maghrib membawakan mata pelajaran Sulam taufiq, Risalatul Mubtadiin dan Bad’ul amali. Jadwal ini hanya berlangsung dua bulan untuk kemudian diganti waktunya menjadi malam hari dan ternyata setelah enam bulan berjalan diganti lagi menjadi jam delapan pagi. Begitulah awal perjalanan dari sebuah perjuangan yang masib harus beradaptasi dengan tuntutan kebutuhan murid yang dilayaninya. Memang menyebarkan llmu ibarat orang berdagang yang harus menyesuaikan diri dengan keinginan pembeli agar barangnya bisa laku.
Cerita tentang berdirinya Madrasah sudah terdengar di kalangan yang lebib luas hingga satu demi satu santri berdatangan dari berbagai desa dan santri santri yang berasal dari daerah yang jauhpun satu demi satu menetap di Ploso. H. Ridwan Syakur, Baedlowi dan Khurmen, ketiganya dari Sendang Gringging ditambah H. Asy’ari dan Berkah dari Ngadiluwih merupakan santri santri pertama yang menetap. Suasana sudah terasa ramai dan masjidpun terasa sesak yang menimbulkan permasalahan baru yaitu mendesaknya pengadaan ruang belajar yang memadai. Direncanakanlah pembangunan sebuah gedung Madrasah. Dengan segenap tenaga, fikiran dan jerih payah yang tak ternilai, Kyai Djazuli keliling desa guna mengumpulkan.dana untuk pembangunan tersebut. Beliau harus mengayuh sepeda berpuluh puluh kilometer sampai Kediri, Tulungagung, Trenggalek dan terkadang ke Blitar. Namun tak sia sia banyak hartawan dan dermawan mengulurkan tangan sehingga pembangunan segera bisa dilaksanakan. Akan tetapi di dunia ini tak ada jalan yang terus mendatar, sebanyak jalan yang menurun sebanyak itu pula yang mendaki. Begitulah dengan perjalanan awal Al Falah. Konon bersamaan dengan berlangsungnya pembangunan Madrasah Pak Iskandar kakak kandung beliau membeli sepeda fongres secara kredit, maka pecandu kesenian, perjudian dan se)enisnya yang merasa terancam dengan kehadiran Kyai baru itu benar benar mendapat bahan ocehan dan peluang untuk melancarkan serangan awal.5)
“Stop sumbangan untuk madrasah”, kata mereka. “Menyumbang sama saja dengan melancarkan angsuran kredit,” begitu bunyi fitnah yang disebarkannya, bahkan ada penduduk yang membelah kayu untuk disumbangkan kepada pembangunan. Di tengah perjalanan kayu tersebut dicegat dan sebagiannya dibawa kembali.
Kyai Djazuli tetap diam, seperti diamnya di masa kanak kanak. Kesabarannya begitu tinggi. Akan tetapi fitnah bukannya reda, justru semakin menusuk hati. Disebarkanlah isu babwa jalannya Madrasah Ploso itu tidaklah baik, karena gurunya kurang umur, kurang pintar, kurang sholeh dan sebagainya. Kyai Djazuli masih tenang tenang saja, namun diam diam beliau mempunyai taktik yang sangat jitu untuk menangkis serangan mereka. Diundanglah para Kyai dan pemuka masyarakat sewilayah kecamatan Ploso untuk mengadakan suatu rapat yang berkaitan dengan berdirinya Madrasah. Acara dibuka dengan pembacaan Al Qur’an oleh Abdullah Hisyam seorang santri beliau yang ditugaskan mengajar di Madrasah. Tentu saja kemampuan vokal (suara), tajwid dan lagunya memenuhi persyaratan. Setelah itu Kyai Djazuli memberi sambutan tentang permasalahan permasalahan yang tengah dihadapi, tetapi sebagian isi sambutan tersebut memperkenalkan siapakah Qori’ yang penampilannya cukup lumayan tadi. Saya berani menugaskannya mengajar karena bacaannya sudah bagus, sah untuk dijadikan imam sholat, tulisannya jelas dapat terbaca dan akhlaknya pun bagus.
“Saya menganggap dia cukup pantas. Adapun masalah-masalah kekurangan akan saya usahakan untuk diperbaiki”, begitulah sambutan beliau yang kemudian dilanjutkan dengan ungkapan sebagai berikut: “Akan tetapi terserah bapak bapak, kalau mengusulkan untuk diganti, ya saya akan ganti”, serentak hadirin menjawab: “Tidak, tidak perlu! sudah, sudah bagus”.
Tanpa komentar panjang, tanpa bertengkar apa lagi bentrokan fisik atau konfrontasi. Kyai Djazuli dengan bijaksana sudah menyelamatkan perjuangannya dari serangan fitnah, sebab dari hasil pertemuan itu isu isu negatif sudah tidak bisa mempengaruhi kalangan tokoh tokoh masyarakat khususnya tokoh agama.
Di tengah tengah badai topan kendala dan rintangan itu pembangunan terus berjalan dipimpin oleh seorang tukang bangunan bernama Hasan Hadi. Seluruh santri bahu membahu bergotong royong, begitu juga Kyai dan Ibu Nyai terlibat langsung sampai pembangunan sudah layak untuk ditempati, tinggallah semen untuk lantai yang tak terjangkau oleh dana. Tak ada rotan akarpun jadi, maka dipakailah batu bata merah untuk lantainya, sehingga Madrasah yang berlokasi di depan Masjid dan terdiri dari 2 lokal itu terkenal dengan sebutan Madrasah Abang (Madrasah Merah). Peristiwa ini terjadi pada tahun 1927, konon KH. Hasyim Asy’ari berkenan hadir pada acara selamatan/ syukuran pembangunan Madrasah tersebut, suatu peresmian yang sangat sederhana.
Lega sudah hati Kyai Djazuli, begitu pula para santri yang belajar. Mereka merasa tentram dan punya harapan untuk meraih ilmu dengan sukses dengan tersedianya fasilitas yang kian meningkat, sementara santri santri baru dari daerah yang jauh terus bertambah. Banyaknya santri yang menetap sudah tak tertampung lagi di Masjid sehingga timbullah permasalahan lagi yaitu pengadaan asrama (pondok) tempat bermukim bagi para santri. Maka pada tahun berikutnya (1928) dibangun pondok yang pertama kali yang diberi nama pondok D (Darussalam) yang disusul pada tahun berikutnya dengan pembangunan Pondok C (Cahaya) yang semula diperuntukkan sebagai tempat mujahadah bagi para santri.
Begitulah sepak terjang seorang ‘Ulama sejati yang mengajarkan ilmunya semata mata Lillahita’ala Ialu santri datang satu persatu berkerumun bagai tawon menyerbu gula. Santri itu dilayaninya dengan baik semata mata karena amanah Allah. Setelah santri santri berdesak desakan diperjuangkannya Madrasah dan asrama. Kini kita cap beliau sebagai ‘Ulama kuno, ‘Ulama kolot berjuang bagaikan siput tak punya rencana. Tetapi ketahuilah perjalanan seekor siput, walaupun perlahan tapi pasti. Sangat berbeda dengan generasi modern yang mendewa dewakan manajemen. Pondok dirancang dengan rencana matang, Ialu didirikan gedung permanen dengan fasilitas lengkap sembari memasang iklan di berbagai media. Namun fakta telah bicara, banyak terjadi gedung sudah mulai retak dan keropos sementara santri santrinya tak kunjung datang. Suatu bahan renungan bagi pejuang pejuang Pondok Pesantren.
Cinta Sampai Cita-Cita Tercapai
Masyarakat modern benar‑benar telah mengakui betapa besar peranan wanita dalam pembangunan. Karena itulah Pemerintah Orde Baru perlu mengangkat seorang menteri perawan (Peranan Wanita).
Sumbernya memang dari ajaran Islam. Ingatlah bahwa Nabi Musa a.s. menatap sinar di bukit Tursina tatkala berjalan berdampingan dengan Safurah, istrinya yang tercinta. Begitu juga tatkala ayat lqro’ (ayat pertama) Al qur’an diturunkan, Rosululloh SAW. sangat butuh spirit dan dekapan Siti Khodijah. “Zarnmiltini, zammiltini” (selimuti aku, selimuti aku), sabda beliau sambil menggigil. Sejarah telah membuktikan babwa sukses yang dicapai para Nabi dan tokoh‑tokoh besar tidak lepas dari peranan wanita sang pendamping.
Bagaimana dengan Kyai Djazuli? seorang duda yang tak henti‑heiitinya dihempas gelombang cobaan?, rupanya beliau butuh pendamping sebagai teman berbagi rasa, tersenyum bersama tatkala senang dan teman berunding memecah aneka problema. Di samping itu beliau berfikir bahwa kelanjutan Pondok pesantren perlu disiapkan sejak dini dan salah satu cara yang banyak ditempuh adalah lewat jalur keturunan. Bukankah dari dua kali pernikahannya beliau belum memperoleh keturunan?
Sebagai warga masyarakat yang supel dalam bergaul Kyai Djazuli sering beramah tamah dengan Mantri Setjo Atmodjo, seorang mantri guru (Kepala Depdikbud) yang bertugas di kecamatan Ploso. Pak mantri ini berasal dari Nglorok Pacitan dan kemudian menikah dengan putri Kyai Imam Mahyin dari Durenan Trenggalek (keturunan Mbah Mesir bin Mbah Yahudo) semuanya adalah ‘Ulama-’ulama terkenal di zamannya.
Dari Pak Mantri inilah KH. Ahmad Djazuli mendengar siapa sebenamya Roro Marsinah, seorang janda muda sholehah putri Kyai Imam Mahyin (adik ipar pak Mantri). Beberapa waktu yang Ialu si dia bercerai dengan Kyai Ihsan Jampes hanya karena kesalahpahaman. Ternyata perceraian itu membuatnya tersinggung, karena disamping putri kyai bangsawan, ia punya nasab cukup tinggi juga punya prinsip atau pendirian yang kuat. Tentu saja wataknya juga tergolong keras seperti layaknya sifat khas orang‑orang Durenan, dan sejak perceraiannya itu ia lebih mendekatkan diri kepada yang kuasa merenungkan apa salah dan kekurangan‑kekurangannya sambil istighfar mohon ampun. Sehari‑hari ia membaca Al qur’an di pusara Al Maghfurlah Kyai Imam Mahyin, ayahnya yang meninggal ketika ia masih berusia 17 tahun.6)
Tak pantas kalau kita katakan ia telah patah hati, namun bagaimanapun jua perceraian itu belum mampu ia lupakan, Kyai lhsan diakuinya memang ‘alim bahkan di kemudian hari beliau mampu mengarang kitab Sirojuttolibin sebuah syarah (komentar dan pengembangan) dari Minhajul Abidin karya Imam Ghozali yang akhirnya kitab tersebut tersebar luas di kalangan ummat Islam dunia terutama di Cairo dan Baghdad.
Roro Marsinah bertekad tak mau kawin lagi kalau tidak mendapatkan seorang pria yang mampu menandingi ke’aliman Kyai lhsan. Ganteng jelek tak jadi ukuran, kaya miskin tak jadi persyaratan yang penting ‘alim, kuat agamanya. Memang begitulah seharusnya pilihan seorang wanita yang punya keimanan kuat.
Akan halnya Kyai Djazuli sangat mendambakan wanita yang kuat agamanya syukur kalau nasabnya juga bagus. Perkara keibuan, menarik, suka humor, langsing, lincah, manis, montok dan sebagainya tak jadi soal. Namun Kyai muda yang tergolong The have not (ekonomi melarat) itu juga sangat mendambakan wanita yang tidak materialis.
Tuhan Yang Maha Tahu mendengar jeritan hati kedua hambanya yang berlainan jenis itu. Dikabulkannya do’a mereka dan diberinya jodoh. Pernikahanpun berlangsung tanpa didahului masa berpacaran atau masa saling menyesuaikan diri, tak ada upacara tukar cincin. Memang begitulah kisah dua pernikahan sebelumnya yang dialami oleh Kyai Djazuli. Bukankah Islam mengajarkan bahwa cinta kasih akan tumbuh dalam rumah tangga yang sah sebagai anugerah dari sang pencipta? Jadi Islam mengajarkan pacaran setelah nikah, bukan seperti yang dilakukan olch anak‑anak muda yang terbawa arus kebudayaan barat.
Akad nikah dan resepsi pernikahan berlangsung tanggal 15 Agustus 19307), kedua mempelai sama‑sama mensyukuri jodohnya yang tak meleset dari idaman semula. Keduanya saling menyelami dan saling menerima segenap kelebihan dan kekurangan masing‑masing. Cintapun bersemi, tumbuh perlahan tapi pasti dalam mahligai rumah tangga sakinah penuh rahmat. Roro Marsinah yang kini telah resmi menjadi Bu Nyai itu amat memaklumi akan kefakiran suaminya tercinta, oleh karena itu makan tiwul, gaplek dan sawut dengan lauk sambal kluwak tak mengendorkan cintanya. Dia bukan wanita mata duitan, ada uang abang sayang tak ada uang abang ditendang. Dimakannya makanan-makanan bergizi rendah itu dengan perasaan syukur, bukan keluhan. la sama sekali tak kaget berhadapan dengan kemelaratan, sebab ia telah ditempa oleh pengalaman hidupnya yang juga penuh derita. Sejak balita usia dua tahun ibunya telah dipanggil yang kuasa, ia tak sempat bermanja‑manja menikmati kasih sayang ibunya. Dan beberapa lama kemudian ayahnya kawin lagi sehingga ia yang merupakan anak kesebelas dan terkecil ini harus mengalami pahitnya sebagai anak tiri. Dan ketika usianya mencapai tujuh tahun ayahpun menyusul wafat, membuat hidupnya selalu dalam derita yang berkepanjangan. Walaupun ayahnya banyak meninggalkan warisan ia agaknya terlalu kecil untuk ikut campur urusan harta benda, sehingga ia tak mengerti hak miliknya. 8)
Atas dasar persamaan sanggup menghadapi derita keluarga baru yang dibina Kyai Djazuli dengan istrinya dapat rukun dan damai. Namun sebagaimana layaknya sebuah keluarga, muncullah permasalahan rumah tempat tinggal karena tidak mungkin keduanya akan tinggal di bilik masjid kenaiban itu. Rupanya Bu Sholeh (kakak kandung beliau). merasa kasihan melihat nasib saudaranya, Ialu diberikannya tempat tinggal bagi pasangan baru itu. Konon tempat tinggal itu adalah sebuah lumbung yang terletak di kediaman Gus Fu’ sekarang ini. Lumbung itu kemudian dirubah menjadi rumah dengan membuat pintu ala kadarnya. Sungguh rumah yang sangat jauh untuk dikatakan layak dihuni apalagi untuk dikatakan sejahtera dari segi bendawi.
Menyesalkah Bu Nyai memilih Kyai miskin itu? Tidak, malahan sebaliknya dia merasakan suaminya adalah segalanya. Kyai Djazuli dikenalnya punya prestasi yang unggul di bidang Ilmu, sabar dan pandai bergaul sejak masih belajar di Pondok, bahkan pernah seperguruan dengan Kyai Ihsan Jampes ketika berguru kepada Syech Al Aidarus di Mekkah. “Pondok yang tengah dirintis suamiku harus sukses,” begitu tekadnya dalam hati sambil mengenang masa‑masa Ialunya yang luka. Sungguh dia wanita yang hebat, mampu mengobati hatinya dengan ibadah dan fastabiqul khoirot (berlomba‑lomba dalam kebagusan), bukannya patah hati lalu gantung diri.
Hubungan suami istri Kyai Djazuli semakin hangat saja setelah Ibu Nyai nampak hamil. Sungguh Kyai Djazuli sangat mengharapkan untuk segera punya keturunan, oleh karena itulah beliau kelihatan benar‑benar bersyukur ketika putri pertamanya lahir pada tanggal 7 September 1931. Diberinya nama Siti Azzah. Anak pertama itu bagaikan kaca cermin, ditimang selalu dan tak jemu untuk dipandang begitulah halnya Kyai Djazuli. Namun tatkala si mungil putrinya itu mulai belajar bicara dengan lucu-lucunya pada usia satu tahun Allah menghendaki lain. Putri itu meninggal dunia yang membuat hatinya menjadi amat pilu. Andaikan beliau tidak memiliki iman yang kuat niscaya hatinya akan terluka perih dan sulit untuk disembuhkan.
Satu setengah tahun kemudian lahirlah putra kedua yang diberi nama Hadziq, maka terobatilah rasa sedihnya karena ditinggalkan oleh Siti Azzah beberapa waktu yang Ialu. Namun rupanya Allah masih terus menguji ketabahan hati Kyai Djazuli dan istrinya, putra tersayang yang dicanangkan untuk menjadi penerus estafet perjuangan itu juga diambil oleh yang kuasa pada usia kecil 9 bulan. Kembali kesedihan menyelimuti rumah tangganya.
Kyai Djazuli beserta istri tercinta dan putrinya (Lailatul Badriyah)
Namun Kyai Djazuli dan istrinya tak pernah putus asa, sambil terus menerus berdo’a kepada Allah SWT. Tatkala ibu Nyai hamil lagi untuk yang ketiga kalinya, maka dukun bayi yang dipercaya untuk merawat sang bayi kali ini tidak sembarang dukun. Akan tetapi seorang dukun dari Trenggalek yang dahulu pernah berperan menolong ketika Ibu Nyai dilahirkan. Dukun ini menyarankan agar ari-ari si bayi jangan ditanam ke dalam tanah seperti yang dilakukan terhadap dua bayi yang telah Ialu, mulai bayi ketiga ini dan seterusnya ari‑arinya dibanyutkan di sungai Brantas. Sampai soal pemberian nama untuk bayi ketiga ini diserahkan kepada Kyai lain, maka diberilah nama Zainuddin sekaligus dalam rangka tafa’ul (agar ketularan) dengan Kyai Zainuddin Mojosari.
Suka dan duka datang silih berganti sebagai romantika kehidupan keluarga yang membuat Ibu Nyai perlahanlahan dapat melupakan pedihnya pengalaman masa lalunya. Akan tetapi semangatnya untuk berkiprah agar Al Falah terus jaya tetap membara, dasarnya bukan lagi yang lain‑lain, tetapi lillahi ta’ala. Bukankah sebagai seorang istri ia wajib untuk turut berjuang menegakkan cita‑cita suaminya sebagai wanita ia ingin menjadi tiang negara sebagaimana yang ditandaskan oleh Rasululloh SAW dalam haditsnya.
المرأة عماد اللاد واذاصلحت صلحت البلاد واذافسدت فسدت البلاد
Meskipun telah dikaruniai tiga orang anak keadaan perekonomian keluarga ini tetap saja miskin papa dan rumah tempat tinggal belum dimilikinya. Menurut sebuah riwayat pada masa‑masa itu Kyai Djazuli menumpang (Magersari : Jawa) di rumah pak Iskandar, kakaknya. Rumah itu sekarang menjadi kediaman KH. Zainuddin Djazuli. Melihat kemiskinan tersebut, sebagai seorang suami yang bertanggung jawab Kyai Djazuli berkeinginan untuk bekerja mencari nafkah meredakan derita rumah tangga.
Namun dengan tegas Ibu Nyai menyanggah: “Pun, Sampean ngaji mawon, kulo sing ngurusi sangu”,*) sejak itulah konsentrasi mengajar Kyai Djazuli terus meningkat, karena beliau dan pasangannya telah seia‑sekata untuk mengutamakan keberhasilan Al Falah mengalahkan persoalan-persoalan yang lain. Kyai Djazuli terus berfikir untuk kemajuan pesantren. Mengajar, matla’ah, sholat jamaah, sholat sunnat dilaksanakannya dengan istiqomah (ajek, rutin) sementara istrinya berusaha kecil‑kecilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bermacam‑macam usaha telah dijalani seperti berjualan sayur‑mayur di depan rumah, berdagang kain keliling desa dengan berjalan kaki sambil menggendong dagangannya ala mbok jamu, membuka warung untuk santri dan usaha‑usaha lain yang halal.
Rumah ini dulu adalah rumah bu saleh disinilah Kyai Djazuli menumpang
Memang tak seberapa hasil yang diperolehnya, namun rizki yang halal benar‑benar punya kadar barokah yang tinggi. Buktinya, rizki yang sedikit itu telah cukup baginya walaupun dengan menu makanan sangat sederhana. Tiwul, sawut dan singkoiig rebus tergolong makanan bergizi rendah menurut pendapat umum dan para ahli gizi, akan tetapi makanan‑makanan itu tidak menyebabkan kekuatan ibadah keluarga Kyai Djazuli menjadi merosot.
Beban Ibu Nyai semakin terasa berat dengan lahirnya putra ketiga, keempat dan seterusnya. Di samping memikirkan roda perekonomian keluarga mencari nafkah banting tulang, beliau juga harus merawat dan membina putra‑putranya. Namun sungguh mengagumkan, kesibukan-kesibukan tersebut tidak membuat perhatiannya kepada Pondok Pesantren menjadi berkurang. Beliau berhati baja, tidak acuh terhadap perjuangan suaminya, peran aktifnya untuk kemajuan Pondok tak dapat dibilang kecil. Beliau tahu pasti kalau lonceng tanda pengajian atau beduk dipukul menyimpang dari jadwal sebenarnya dan tak segan‑segan beliau memberikan teguran. Ketika suaminya berangkat untuk menjadi imam sholat subuh misalnya, beliau keluar dari rumah untuk mengontrol santri‑santri yang punya gelagat tidak ikut jamaah atau membangkong. Dengan gaya khasnya beliau menegur dengan pertanyaan “Nyapo nggak jamaah?”*) Tentu saja si santri tak dapat menjawab karena sungkan dan grogi, maka beliau melanjutkan dengan kata‑kata “Omahmu kan adoh”**) sebagai nasehat kepada santrinya.
Masih soal disiplin Ibu Nyai, para Ustadz yang bertugas mengajar di kelas atau yang membantu mengasuh pengajian merasa sangat kesulitan untuk libur mengajar. Apabila ada Ustadz terdengar akan libur, beliau Ialu memanggil yang bersangkutan untuk ditanya model interogasi “Nyapo libur?” ***)tanya beliau seolah‑olah ingin tahu. Jika jawabannya adalah karena tidak enak badan, langsung beliau berkata : “Ta gaeno jamu, ben waras”****), sambil berlalu untuk mengolah ramuan jamu jawa. Setelah minum jamu sang Ustadzpun merasa sungkan dan malu, hingga akan memaksakan diri untuk menjalankan tugasnya.
Beliau faham siapa diantara para ustadz yang tergolong malas, maka beliau sendiri yang aktif memukul Ionceng pada jadwal-jadwal ustadz yang bersangkutan. Dan tidak hanya sampai di situ peran aktifnya untuk Al Falah. Bahkan beliaulah yang menjadi bagian keuangan Pondok yang mengurus anggaran belanja, semua itu dirangkap oleh beliau untuk lembaga Al Falah yang masih muda, di saat organisasi Pengurus Pondok belum teratur. Beliau terjun langsung berfikir dan bekerja sebagai pengurus, terkadang melakukan tugas keamanan, terkadang sebagai bagian keuangan.9)
Jarang ditemui Bu Nyai semacam itu, yang tidak hanya membantu suami di garis belakang (kasur, sumur dan dapur). Tetapi tampil mendamping suami di garis depan sebatas kodratnya sebagai wanita, tidak sampai mengalahkan suami dengan dalih emansipasi. Jasanya untuk Al FaIah hanya Allah yang mampu menghitungnya. Maka pantaslah kalau kita panggil namanya Ummul Ma’had. Bersama beliau cinta tergapai dan bersama beliau pula cita‑cita tercapai.
6) Cerita Mbah Munaris kedawung, dan cerita Mbah Nyai H. Rodliyah Djazuli kepada Pak Musleh.
7) Stanboek asal osoel dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda.
8) Cerita Ibu Nyai Hj. Lailatul Badriyah Djazuli.
*) “Sudahlah, Bapak ngaji saja, saya yang mengurusi biaya”
*) “Mengapa tidak jamaah”
**) “Rumahmu kan jauh”
***) Mengapa libur?”
****) “Saya buatkan jamu biar sehat”
9) Cerita KH. Miftahul Ma’na Blitar
http://islamtradisionalis.wordpress.com/category/tokoh/biografi-kh-ahmad-djazuli-utsman/
Namun dengan tegas Ibu Nyai menyanggah: “Pun, Sampean ngaji mawon, kulo sing ngurusi sangu”,*) sejak itulah konsentrasi mengajar Kyai Djazuli terus meningkat, karena beliau dan pasangannya telah seia‑sekata untuk mengutamakan keberhasilan Al Falah mengalahkan persoalan-persoalan yang lain. Kyai Djazuli terus berfikir untuk kemajuan pesantren. Mengajar, matla’ah, sholat jamaah, sholat sunnat dilaksanakannya dengan istiqomah (ajek, rutin) sementara istrinya berusaha kecil‑kecilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bermacam‑macam usaha telah dijalani seperti berjualan sayur‑mayur di depan rumah, berdagang kain keliling desa dengan berjalan kaki sambil menggendong dagangannya ala mbok jamu, membuka warung untuk santri dan usaha‑usaha lain yang halal.
Rumah ini dulu adalah rumah bu saleh disinilah Kyai Djazuli menumpang
Memang tak seberapa hasil yang diperolehnya, namun rizki yang halal benar‑benar punya kadar barokah yang tinggi. Buktinya, rizki yang sedikit itu telah cukup baginya walaupun dengan menu makanan sangat sederhana. Tiwul, sawut dan singkoiig rebus tergolong makanan bergizi rendah menurut pendapat umum dan para ahli gizi, akan tetapi makanan‑makanan itu tidak menyebabkan kekuatan ibadah keluarga Kyai Djazuli menjadi merosot.
Beban Ibu Nyai semakin terasa berat dengan lahirnya putra ketiga, keempat dan seterusnya. Di samping memikirkan roda perekonomian keluarga mencari nafkah banting tulang, beliau juga harus merawat dan membina putra‑putranya. Namun sungguh mengagumkan, kesibukan-kesibukan tersebut tidak membuat perhatiannya kepada Pondok Pesantren menjadi berkurang. Beliau berhati baja, tidak acuh terhadap perjuangan suaminya, peran aktifnya untuk kemajuan Pondok tak dapat dibilang kecil. Beliau tahu pasti kalau lonceng tanda pengajian atau beduk dipukul menyimpang dari jadwal sebenarnya dan tak segan‑segan beliau memberikan teguran. Ketika suaminya berangkat untuk menjadi imam sholat subuh misalnya, beliau keluar dari rumah untuk mengontrol santri‑santri yang punya gelagat tidak ikut jamaah atau membangkong. Dengan gaya khasnya beliau menegur dengan pertanyaan “Nyapo nggak jamaah?”*) Tentu saja si santri tak dapat menjawab karena sungkan dan grogi, maka beliau melanjutkan dengan kata‑kata “Omahmu kan adoh”**) sebagai nasehat kepada santrinya.
Masih soal disiplin Ibu Nyai, para Ustadz yang bertugas mengajar di kelas atau yang membantu mengasuh pengajian merasa sangat kesulitan untuk libur mengajar. Apabila ada Ustadz terdengar akan libur, beliau Ialu memanggil yang bersangkutan untuk ditanya model interogasi “Nyapo libur?” ***)tanya beliau seolah‑olah ingin tahu. Jika jawabannya adalah karena tidak enak badan, langsung beliau berkata : “Ta gaeno jamu, ben waras”****), sambil berlalu untuk mengolah ramuan jamu jawa. Setelah minum jamu sang Ustadzpun merasa sungkan dan malu, hingga akan memaksakan diri untuk menjalankan tugasnya.
Beliau faham siapa diantara para ustadz yang tergolong malas, maka beliau sendiri yang aktif memukul Ionceng pada jadwal-jadwal ustadz yang bersangkutan. Dan tidak hanya sampai di situ peran aktifnya untuk Al Falah. Bahkan beliaulah yang menjadi bagian keuangan Pondok yang mengurus anggaran belanja, semua itu dirangkap oleh beliau untuk lembaga Al Falah yang masih muda, di saat organisasi Pengurus Pondok belum teratur. Beliau terjun langsung berfikir dan bekerja sebagai pengurus, terkadang melakukan tugas keamanan, terkadang sebagai bagian keuangan.9)
Jarang ditemui Bu Nyai semacam itu, yang tidak hanya membantu suami di garis belakang (kasur, sumur dan dapur). Tetapi tampil mendamping suami di garis depan sebatas kodratnya sebagai wanita, tidak sampai mengalahkan suami dengan dalih emansipasi. Jasanya untuk Al FaIah hanya Allah yang mampu menghitungnya. Maka pantaslah kalau kita panggil namanya Ummul Ma’had. Bersama beliau cinta tergapai dan bersama beliau pula cita‑cita tercapai.
6) Cerita Mbah Munaris kedawung, dan cerita Mbah Nyai H. Rodliyah Djazuli kepada Pak Musleh.
7) Stanboek asal osoel dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda.
8) Cerita Ibu Nyai Hj. Lailatul Badriyah Djazuli.
*) “Sudahlah, Bapak ngaji saja, saya yang mengurusi biaya”
*) “Mengapa tidak jamaah”
**) “Rumahmu kan jauh”
***) Mengapa libur?”
****) “Saya buatkan jamu biar sehat”
9) Cerita KH. Miftahul Ma’na Blitar
http://islamtradisionalis.wordpress.com/category/tokoh/biografi-kh-ahmad-djazuli-utsman/
tanya kang. pendiri pondok mojosari sebenarnya ada berapa? apa hanya mbah kyai Ali Imron Saja. kalau apa yang pernah saya dengar kok ada 3 yang pertama kali mendirikan.. cuman yang memangku mbah Ali Imron yang satu keluar daerah nganjuk dan satunya masih di mojosari tapi menjadi orang biasa. terus hubungan guru mbah Zainudin dengan pondok mojosari yang mengutus beliau untuk datang ke mojosari.
BalasHapus