Lirboyo Tanggapi Fatwa MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu mewacanakan fatwa rokok haram. Sebagian kalangan menilai bahwa rencana MUI mengeluarkan fatwa rokok haram adalah sepihak. Mereka berdalih kalau rokok diharamkan, maka akan banyak pengangguran dan mengurangi devisa Negara yang didapat dari pajak rokok. Pada 2006 saja, suntikan cukai dan pajak rokok kepada pemerintah mencapai 50 triliun rupiah.
Sementara itu, banyak juga kalangan yang mendukung rencana MUI. Bahkan menurut suatu survei, total biaya konsumsi tembakau adalah Rp. 127,4 triliun, yang digunakan untuk belanja tembakau, biaya pengobatan sakit akibat mengkonsumsi tembakau, kecacatan dan kematian dini.
Selaras dengan itu, Survei Ekonomi dan Kesehatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2003) juga membuktikan keluarga miskin rata-rata mengalokasikan 8-9 persen pengeluarannya untuk belanja tembakau. Sementara itu, pada saat yang sama keluarga miskin hanya mengalokasikan 2,6 persen untuk biaya pendidikan dan 1,9 persen untuk kesehatan dari total pengeluaran.
Pertanyaan
a. Bagaimana menurut fikih formal muatan fatwa MUI berkenaan fatwa rokok haram pada saat sekarang, apakah sudah dianggap proporsional?
Jawaban
Kurang dianggap proporsional karena:
•MUI tidak punya kapasitas untuk melahirkan hukum dari ijtihadnya sendiri, dan referensi hukum haram yang ada merupakan pendapat yang lemah.
•Pertimbangan yang disampaikan MUI belum memenuhi standar untuk memastikan haramnya merokok secara mutlak.
Referensi
1. Anwarul Buruq juz 1 hal. 217
2. Mausu’ah Fiqhiyah juz 11 hal. 101
3. Tuhfatul Muhtaj juz 4 hal. 238
4. Bughyah Mustarsyidin hal. 39
Pertanyaan
b. Apakah status MUI adalah Komisi Fatwa dalam kacamata fikih?
Jawaban
Statusnya adalah sebagai Mufti Majazi/Naqil al-Qoul
Referensi
1. Qowaidul Fiqh li Muhammad ’Amimi juz 1 hal. 565-567
2. Bughyah Mustarsyidin hal. 7
3. Al Faruq juz 4 hal. 53
4. Al Majmu’ juz 1 hal. 42
5. Adabul Fatwa wal Mufti juz 1 hal. 10-13
waktu puasa
Secara bahasa, ash-shiyam (puasa) berarti menahan diri. Sedangkan dalam istilah syara’ puasa adalah menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa, sejak terbitnya fajar hingga matahari tenggelam di ufuk barat. Sebagai mana tersirat dalam firman Allah Swt:Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu mewacanakan fatwa rokok haram. Sebagian kalangan menilai bahwa rencana MUI mengeluarkan fatwa rokok haram adalah sepihak. Mereka berdalih kalau rokok diharamkan, maka akan banyak pengangguran dan mengurangi devisa Negara yang didapat dari pajak rokok. Pada 2006 saja, suntikan cukai dan pajak rokok kepada pemerintah mencapai 50 triliun rupiah.
Sementara itu, banyak juga kalangan yang mendukung rencana MUI. Bahkan menurut suatu survei, total biaya konsumsi tembakau adalah Rp. 127,4 triliun, yang digunakan untuk belanja tembakau, biaya pengobatan sakit akibat mengkonsumsi tembakau, kecacatan dan kematian dini.
Selaras dengan itu, Survei Ekonomi dan Kesehatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2003) juga membuktikan keluarga miskin rata-rata mengalokasikan 8-9 persen pengeluarannya untuk belanja tembakau. Sementara itu, pada saat yang sama keluarga miskin hanya mengalokasikan 2,6 persen untuk biaya pendidikan dan 1,9 persen untuk kesehatan dari total pengeluaran.
Pertanyaan
a. Bagaimana menurut fikih formal muatan fatwa MUI berkenaan fatwa rokok haram pada saat sekarang, apakah sudah dianggap proporsional?
Jawaban
Kurang dianggap proporsional karena:
•MUI tidak punya kapasitas untuk melahirkan hukum dari ijtihadnya sendiri, dan referensi hukum haram yang ada merupakan pendapat yang lemah.
•Pertimbangan yang disampaikan MUI belum memenuhi standar untuk memastikan haramnya merokok secara mutlak.
Referensi
1. Anwarul Buruq juz 1 hal. 217
2. Mausu’ah Fiqhiyah juz 11 hal. 101
3. Tuhfatul Muhtaj juz 4 hal. 238
4. Bughyah Mustarsyidin hal. 39
Pertanyaan
b. Apakah status MUI adalah Komisi Fatwa dalam kacamata fikih?
Jawaban
Statusnya adalah sebagai Mufti Majazi/Naqil al-Qoul
Referensi
1. Qowaidul Fiqh li Muhammad ’Amimi juz 1 hal. 565-567
2. Bughyah Mustarsyidin hal. 7
3. Al Faruq juz 4 hal. 53
4. Al Majmu’ juz 1 hal. 42
5. Adabul Fatwa wal Mufti juz 1 hal. 10-13
waktu puasa
فَاْلآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya: ”Maka sekarang campurilah mereka (isteri-isteri) dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yakni fajar.” (QS. Al-Baqarah; 187)
Hal-hal yang dapat membatalkan puasa ada banyak. Salah satunya, masuknya benda konkret (‘ain) ke dalam anggota tubuh yang berongga (seperti perut dan kepala) melalui anggota tubuh yang berlobang (mulut, hidung, telinga dll).
Dalam penjelasan di atas, setidaknya ada tiga ketentuan yang menjadikan puasa batal, yaitu;
1. benda yang masuk adalah ‘ain (benda konkret),
2. masuk ke dalam rongga tubuh,
3. masuk melalui anggota yang berlobang.
Dari poin ke 2 dan 3 dapat dipahami bahwa suntik dan infus tidak membatalkan puasa karena cairan yang masuk ke dalam tubuh tidak melalui anggota yang berlobang dan tidak sampai pada rongga-rongga tubuh. Begitu juga obat tetes mata, tidak membatalkan puasa karena mata juga bukan termasuk lobang tubuh.
Sedangkan dari poin pertama, perlu dipahami lebih lanjut mengenai benda-benda yang termasuk dalam kategori ‘ain. Secara pengertian, ‘ain adalah benda konkret yang dapat ditangkap oleh panca indera, dapat dilihat, diraba, dan dirasa. Oleh karenanya masuknya udara kedalam tubuh kita melalui mulut atau hidung tidak membatalkan puasa. Sebab, udara bukan termasuk benda konkret (‘ain).
Berbeda dengan asap rokok, meskipun asap rokok juga hanya udara, namun didalamnya terkandung unsur-unsur yang termasuk benda konkret. Hal ini dibuktikan dengan adanya plak berwarna kuning kecoklatan yang dapat dilihat pada filter atau pipa rokok. Dengan demikian dapat dipahaman bahwa merokok dapat membatalkan puasa karena asap rokok termasuk benda konkret (‘ain).
Memang, ada seorang ulama yang pernah menyatakan bahwa menghisap rokok tidak membatalkan puasa, beliau adalah Imam Az-Zayadi. Namun perlu dicatat bahwa Imam Az-Zayadi menyatakan fatwa tersebut sebelum beliau mengetahui lebih dalam bahwa asap rokok termasuk ‘ain. Beliau mengira asap rokok tak ubahnya udara dalam pernafasan kita. Namun setelah beliau tahu bahwa dalam asap rokok terkandung ‘ain, beliau merevisi fatwa beliau, digantikan dengan fatwa baru yang menyatakan bahwa merokok dapat membatalkan puasa. Keterangan ini di ambil dari kitab bughiyatul mustarsyidin halaman 111 sebagaimana berikut:
فَائِدَةٌ : لاَيَضُرُّ وُصُولُ الرِّيحُ بِالشَّمِّ وَكَذَا مِنَ الْفَمِ كَرَائِحَةِ الْبُخُورِ أَوْ غَيْرِهِ إِلَى الْجَوْفِ وَإِنْ تَعَمَّدَهُ ِلأَنَّهُ لَيْسَ عَيْنًا وَخَرَجَ بِهِ مَا فِيهِ عَيْنٌ كَرَائِحَةِ النَّتْنِ يَعْنِي التَّنْبَاكَ لَعَنَ اللهُ مَنْ أَحْدَثَهُ ِلأَنَّهُ مِنَ الْبِدَعِ الْقَبِيحَةِ فَيُفْطِرُ بِهِ وَقَدْ أَفْتَى بِهِ زي بَعْدَ أَنْ أَفْتَى أَوَّلاً بِعَدَمِ الْفِطْرِ قَبْلَ أَن يَّرَاهُ انْتَهَى ع ش
Artinya: ”Tidak berpengaruh (terhadap keabsahan) masuknya udara dengan cara dihirup atau melalui mulut. Seperti halnya menghirup bau dupa meskipun dengan sengaja. Sebab, udara tidak termasuk benda yang konkret (‘ain). Berbeda dengan asap rokok (semoga Allah melaknat pencetus rokok, karena rokok merupakan bid’ah sayyi`ah). Fatwa mengenai batalnya puasa sebab merokok ini juga telah difatwakan oleh Imam Az-Zayadi, meskipun sebelumnya beliau pernah menyatakan bahwa merokok tidak membatalkan puasa, sebelum beliau tahu persis hakikat dari kandungan asap rokok.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar