4 Des 2010

- Mula Berdiri Pondok Tremas


:

Pada abad ke XV M. bumi nusantara ini di bawah naungan kerajaan Majapahit, dan seluruh masyarakatnya masih memeluk agama Hindu atau Budha. Begitu juga daerah Wengker selatan atau di sebut juga Pesisir selatan ( Pacitan ) yang pada waktu itu daerah tersebut masih di kuasai seorang sakti beragama Hindu yang bernama Ki Ageng Buwana Keling, yang di kenal sebagai cikal bakal daerah Pacitan.

Menurut silsilah, asal usul KI Ageng Buwana Keling adalah putra Pejajaran yang di kawinkan dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama putri Togati. setelah menjadi menantu Majapahit maka KI Ageng Buwana Keling mendapat hadiah tanah di pesisir selatan dan di haruskan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. KI Ageng Buwana Keling berputra tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua bernama KI Ageng Bana Keling. Kegoncangan masyarakat KI Ageng Buwana Keling di Pesisir selatan terjadi setelah datangnya Muballigh Islam dari kerajaan Demak Bintara, yang di pimpin oleh KI Ageng Petung ( R. Jaka Deleg / Kyai Geseng ), KI Ageng Posong ( R. Jaka Puring Mas / KI Ampok Boyo ) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang meminta KI Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di wengker selatan untuk mengikuti atau memeluk ajaran Islam.

Namun setelah KI Ageng Buwana Keling menolak dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru yaitu agama Islam, maka tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan antara penganut agama Hindu yang dipimpin oleh Ki Ageng Buwana Keling dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama , karena kedua belah pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta kesaktian para muballigh tersebut peperangan itu dapat dimenangkan Ki Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama Raden Betoro Katong ( Putra Brawijaya V ).

Dari saat itulah maka daerah Wengker selatan atau Pacitan dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam secara menyeluruh kepada rakyat hingga wafatnya, dan dimakamkan di daerah Pacitan.

Demikianlah dari tahun ke tahun sampai Bupati Jagakarya I berkuasa ( tahun 1826 ), perkembangan agama Islam di Pacitan maju dengan pesatnya, bahkan tiga tahun kemudian putra dari Demang Semanten yang bernama Bagus Darso kembali dari perantauannya mencari dan mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren Tegalsari Ponorogo di bawah asuhan Kyai Hasan Besari. Sekembalinya beliau dari pondok tersebut di bawah bimbingan ayahnya R. Ngabehi Dipomenggolo mulai mendirikan pondok di desa Semanten ( 2 Km arah utara kota Pacitan ). setelah kurang lebih satu tahun kemudian pindah ke daerah Tremas, maka dari saat itulah mulai berdiri Pondok Tremas.

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa KH. Abdul Manan pada masa kecilnya bernama Bagus Darso. Sejak kecil beliau sudah terkenal cerdas dan sangat tertarik terhadap masalah-masalah keagamaan. Dalam masa remajanya beliau dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk mempelajari dan memperdalam pengetahua agama Islam di bawah bimbingan Kyai Hasan Besari. Selama disana Bagus Darso selalu belajar dengan rajin dan tekun. Karena ketekunannya, kerajinannya serta kecerdasan yang dibawanya semenjak kecil itulah maka kepandaian Bagus Darso didalam menguasai dan memahami ilmu yang dipelajarinya melebihi kawan-kawan sebayanya, sehingga tersebutlah sampai sekarang kisah-kisah tentang kelebihan beliau. Diantara kisah tersebut adalah sebagai berikut :

Pada suatu malam yang dingin dimana waktu itu para santri Pondok Tegalsari sedang tidur pulas, sebagaimana biasasnya Kyai Hasasn Besari keluar untuk sekedar menjengu anak-anak didiknya yang sedang tidur di asrama maupun di serambi masjid. Pada waktu beliau memeriksa serambi masjid yang penuh ditiduri oleh para santri itu, tiba-tiba pandangan Kyai tertumbuk pada suatu pemandangan aneh berupa cahaya yang bersinar, dalam hati beliau bertanya, apakah gerangan cahaya aneh itu. Kalau cahaya kunang tentu tidak demikian, apalagi cahaya api tentu tidak mungkin, sebab cahaya ini mempunyai kelainan. kemudian dengan hati-hati, agar tidak sampai para santri yang sedang tidur, Kyai mendekati cahaya aneh itu. Makin dekat dengan cahaya aneh tersebut keheranan Kyai bertambah, sebab cahaya itu semakin menunjukkan tanda-tanda yang aneh. Dan kemudian apa yang disaksikan Kyai adalah suatu pemandangan yang sungguh luar biasa, ssebab cahaya itu keluar dari ubun-ubun salah satu santrinya. Kemudian diperiksanya siapakah sesungguhnya santri yang mendapat anugerah itu.Tetapi kegelapan malam dan pandangan mata yang sudah kabur terbawa usia lanjut menyebabkan usaha beliau gagal. Namun Kyai Hasan Ali tidak kehilangan akal, dengan hati-hati sekali ujung ikat kepala santri itu diikat sebagai tanda untuk mengetahui besok pagi kalau hari sudah mulai terang. Esoknya sehabis sembahyang Subuh, para santri yang tidur di serambi masjid disuruh menghadap beliau. Setelah mereka menghadap, dipandangnya satu demi satu santri tersebut dengan tidak lupa memperhatikan ikat kepala masing-masing. Disinilah beliau mengetahui bahwa sinar aneh yang semalam keluar dari ubun-ubun salah satu santri nya berasal dari salah satu santri muda pantai selatan ( Pacitan ) yang tidak lain adalah Bagus Darso. Dan semenjak itu perhatian Kyai Hasan Ali dalam mendidik Bagus Darso semakin bertambah, sebab beliau merasa mendapat amanat untuk mendidik seorang anak yang kelak kemudian hari akan menjadi pemuka dan pemimpin umat.

Demikianlah salah satu kisah KH. Abdul Manan pada waktu mudanya di Pondok Tegalsari dalam cerita. Dan setelah Bagus Darso dianggap cukup ilmuyang diperolehnya di Pondok Pesantren Tegalsari, beliau kembali pulang ke Semanten. Di desa inilah beliau kemudian menyelenggarakan pengajian yang sudah barang tentu bermula dengan sangat sederhana. Dankarena semenjak di Pondok Tegalsari beliau sudah terkenal sebagai seorang santri yang tinggi ilmunya, maka banyaklah orang Pacitan yang mengaji pada beliau. Dari sinilah kemudian di sekitar masjid didirikan pondok untuk para santri yang datang dari jauh. Namun beberapa waktu kemudian pondok tersebut pindah ke daerah Tremas setelah oleh ayahnya beliau dikawinkan dengan Putri Demang Tremas R. Ngabehi Hongggowijoyo. Sedang R. Ngabehi Honggowijoyo itu sendiri adalah kakak kandung R. Ngabehi Dipomenggolo.

Diantara faktor yang menjadi penyebab perpindahan Kyai Abdul Manan dari daerah Semanten ke desa Tremas, yang paling pokok adalah pertimbangan kekeluargaan yang dianggap lebih baik beliu pindah ke daerah Tremas. Pertimbangan tersebut antara adalah, karena mertua dan istri beliau menyediakan daerah yang jauh dari keramaian atau pusat pemerintahan, sehingga merupakan daerah yang sangat cocok bagi para santri yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agama.

Berdasarkan pertimbangan itulah maka beliau kemudian memutuskan pindah dari Semanten ke daerah Tremas, dan mendirikan pondok pesantren yang kemudian disebut “ Pondok Tremas “. Demikianlah sedikit sejarah berdirinya Pondok Tremas yang dipelopori oleh beliau KH. Abdul Manan pada tahun 1830 M


sumber :
//pondoktremas.com

Pondok Tegalsari



Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari.

Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain.

Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll. Sekadar menyebut sebagai contoh adalah Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).

Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.

Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah SWT mengabulkan doa Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.

Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.

Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.

sumber:gontor.ic.id


sumber : http://ponorogo-ponorogocity.blogspot.com

PPTQ AL Hasan Ponorogo

Pesantren Tahfidzul Quran al-Hasan Ponorogo

Spesialis Qira’ah Sab’ah

Magelang, pertengahan tahun 1983. Petang belum menjelang saat Husein tiba di kediaman KH A Hamid di Kajoran Magelang. Bersama KH Qomar, ayah angkatnya, Husein hanya ingin sowan pada kiai yang tersohor sebagai waliyullah itu. Percakapan singkat tuan rumah dan tamu itulah yang kelak menentukan berdirinya PP al-Hasan.

“Ilmu yang kau peroleh sudah saatnya kau amalkan,” titah Kiai Hamid. Dua orang tamunya hanya mengangguk. “Caranya, segera dirikan pesantren di tempat yang kau tinggali saat ini,” kiai sepuh itu melanjutkan perintahnya.

Husein, kala itu berusia 30 tahun, sebenarnya masih kurang pede untuk merintis pesantren. Ia merasa ilmunya jauh dari cukup untuk mengasuh para santri. Namun, berbekal dukungan dari Kiai Hamid Kajoran, ia bismillah saja. Lokasi yang dipilih adalah tanah wakaf dari ayah angkatnya, KH Qomar, di kelurahan Patihan Wetan Ponorogo. “Tanggal berdirinya 7 Juli 1984. Jadi, hampir satu tahun setelah dawuh Kiai Hamid,” kata KH Husein Ali, nama lengkapnya.

Kiai Qomar sendiri, selain menjadi kiai di kelurahan itu, juga dikenal sebagai kontraktor sukses yang sangat mencintai al-Quran. Pengusaha santri itu hampir saban minggu mengadakan semaan al-Quran di rumahnya. Salah satu hafidz langganannya adalah santri bernama Husein Ali, yang kemudian ia ambil sebagai anak angkatnya.

Nama al-Hasan sendiri dinisbatkan pada nama ayah Kiai Qomar, yaitu Kiai Hasan Arjo. Selain itu saudara kembar Kiai Husein juga bernama Hasan, namun ia meninggal di usia belia. Dengan penamaan al-Hasan inilah, Kiai Husein ingin mengenang dua orang tersebut. “Tentunya, saya tafaulan pada cucu kanjeng nabi, Sayyidina Hasan,” terangnya.
Hingga kini, ciri khas PP al-Hasan adalah pengajaran Qiraah Sab’ahnya. “Insya Allah, di daerah Karesidenan Madiun, hanya PP al-Hasan yang mengajarkan Qiraah Sab’ah,” kata Rais Syuriah PCNU Ponorogo 1997-1999 ini.

Di pesantren yang lokasinya cukup dekat dengan STAIN Ponorogo ini, para santri di pagi harinya dibebaskan bersekolah di luar pesantren. Sebab, al-Hasan hingga kini belum memiliki lembaga pendidikan formal. Selain di MA terdekat, ada pula beberapa santri yang kuliah di STAIN, maupun Institut Sunan Giri yang lokasinya juga tak jauh dari al-Hasan.

Hanya saja, meski menghafalkan al-Quran, tapi tak semua santri berminat mendalami Qiraah Sab’ah. Menurut Kiai Husein, dari dua puluh orang huffadz yang diwisuda, hanya satu orang yang berminat. “Sebab mempelajari variasi qiraah dari tujuh imam, memang sangat berat.” kata penasehat Jamiyatul Qurra’ wal Huffadz Jatim ini seraya tersenyum. Begitu beratnya, hingga kadang-kadang hafalan al-Qurannya hilang. Belum lagi durasi waktu yang lumayan lama.

Menurut ayah tiga orang anak yang semuanya hafidzul Quran ini, ada kesankesan unik ketika mengasuh para calon penghafal al-Quran. Ia terkesan dengan seorang santri bernama Muallif yang berasal dari Trenggalek. Ia hanya ber-pendidikan SD dari keluarga kurang mampu. Tanpa bekal sedikitpun, ia nekat sowan ke Kiai Husein mengutarakan niatnya menghafal al-Quran. Berbekal niat yang kuat ia menghafal al-Quran, sambil bekerja serabutan. Karena kegigihannya inilah, teman-temannya memberi gelar Mbah Sunan. “Hafalannya baik, suaranya juga bagus. Tajwidnya juga tanpa cela,” kisahnya. Tahun 1993 kebetulan ada Musabaqah Hifdzul Quran (MHQ) di Madiun. Oleh Kiai Husein, Mbah Sunan didelegasikan menjadi peserta lomba. Karena penampilannya yang katrok; perawakan kecil, wajah kurang manarik, dan kulitnya juga hitam legam, para juri lomba menganggap remeh Mbah Sunan. “Kiai, mbok ya santri panjenengan di make up sedikit, biar penampilan-nya lebih oke,” canda seorang juri pada Kiai Husein. “Lho, jangan lihat bungkusnya. Yang penting itu substansinya alias kemampuannya,” jawab Kiai Husein memberi jaminan, sambil terkekeh.

Jaminan mutu dari Kiai Husein manjur, para juri terperangah mendengar lantunan al-Quran dari bibir Mbah Sunan. Hasilnya, sosok yang sempat diremehkan ini menjadi kampiun I MHQ se-Karesidenan Madiun. “Saat ini Mbah Sunan ngajar ngaji di desanya,” kata Mustasyar PCNU Ponorogo ini.

Selain kisah Mbah Sunan, ada beragam kisah unik lainnya. Ia menyebut kisah seorang santri eksentrik dari Yogyakarta. Namanya Arif Irfan. Selain menghafalkan al-Quran, ia juga belajar di STAIN Ponorogo. Di mata teman-teman-nya, Arif dikenal sebagai santri yang hobi keluyuran. Pamitnya nonton bioskop, cangkruk di warkop, dll. Tak pernah ia terlihat nderes al-Quran di kamarnya. Tahu-tahu ia selesai setoran hafalan pada Kiai Husein. Tak dinyana, dalam jangka waktu satu tahu, ia telah menguasai al-Quran di luar kepala. Teman-temannya hanya geleng-geleng kepala melihat keberhasilan Arif. Menurut Kiai Husein, ketika Arif pamit nonton bioskop pada teman-temannya, sebenarnya ia tidak ke lokasi pemutaran film. Justru ia mampir ke masjid. “Agar tak diketahui teman-temannya, ia bergonta-ganti masjid,” terang Kiai Husein sambil tersenyum mengingat kecerdikan Arif. Di beberapa masjid inilah ia nyicil hafalan al-Quran hingga ia diwisuda sebagai hafidz pada 1998.

Hingga kini, dalam berbagai ajang perlombaan MHQ, MTQ, maupun MQK (Musabaqah Qira-atul Kutub), terutama di kawasan Karesidenan Madiun, delegasi al-Hasan hampir menjadi langganan juara. Bahkan, grup hadrah al-Hasan menempati peringkat II berturut-turut pada lomba Hadrah Karesidenan Madiun 2008 dan 2009.

Ijazah dari Mbah Arwani

Kiai Husein merupakan pen-datang dari Jejeran Wonokromo Yogyakarta. Masa mudanya ia habiskan berkelana dari satu pondok ke pondok lainnya. Guru pertamanya adalah KH Ali Masykur, ayah kandungnya. Melalui ayah-nya, ia menghafal al-Quran di usia belia. Saat ayahnya wafat, Husein masih duduk di bangku MTs. Di usia muda itu ia lalu dititipkan ibunya pada KH A Muchith Nawawi. Sesekali, ia ikut ngaji pada KH Muhyiddin Nawawi. Keduanya adalah kiai terkemuka di Wonokromo Yogyakarta. “Alhamdulillah, di desa kelahiran saya, terdapat ratusan huffadz. Menurut Mbah Mundzir (Pengasuh PP Maunah Sari bandar Kidul Kediri-red) mudahnya para penduduk menghafalkan al-Quran karena disana ada 41 makam auliya,” terang Kiai Husein. Selepas itu Husein muda melanjutkan perjalanan menuntut ilmu pada KH Abuya Dimyati, Pandeglang, Banten.

Bertahun tahun berguru pada Mbah Dim, Husein kembali mengembara. Kali ini ia terdampar di pesantren yang diasuh oleh KH Abdullah Umar, Semarang. Di pesantren spesialis pendalaman tafsir ini, Husein mondok selama enam bulan. “Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, saya mengajar kitab pada masyarakat sekitar pondok. Istilahnya ngaji privat,” katanya tersenyum mengenang masa mudanya. Upahnya sebagai guru ngaji itulah yang ia gunakan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bekal membeli kitab. Kadangkala ia juga didundang ceramah maupun se-maan al-Quran.

Selepas itu, ia kembali mondok. Kali ini ia memilih berguru kepada KH Arwani Kudus. Ke-butuhan sehari-harinya ia penuhi dengan mengajar ngaji secara privat, memenuhi undangan ce-ramah, hingga semaan al-Quran. Di pesantren al-Quran ini, Husein betah hingga tiga tahun lamanya. Melalui silsilah keilmuan Mbah Arwani inilah, Husein mem-peroleh ijazah Qiraah Sab’ah. Berbekal ijazah itu ia me-ngembangkan pesantren spesialis Qiraah Sab’ah.

Hingga kini, jumlah santri PP al-Hasan berjumlah 230 putra–putri. “Itu belum termasuk santri kalong (non-mukim),” terang kiai yang aktif sebagai mubaligh ini Para santri ini datang dari ber-bagai daerah, meskipun mayoritas dari Sumatra. Untuk memenuhi jangkauan pengajaran al-Quran, Kiai Husein melebarkan sayap dengan mendirikan PP al-Hasan II di Dusun Carat Kauman Sumoroto, sekitar lima kilometer arah barat PP al-Hasan I.

“Alhamdulillah, berkat doa para masyayikh dan dukungan masyarakat, kedua pesantren ini tetap semangat dalam memasyarakatkan al-Quran,” terang Kiai Husein. (AULA No.04/XXXII April 2010)

lahirnya NU


Pada Muktamar NU ke-32 di Makasar telah diputuskan bahwa hari lahir NU menggunakan hitungan hijriyah. Dengan demikian, 16 Rajab nanti jam’iyah ini telah menapaki usia 87 tahun.

NU dikenal sebagai ormas yang memiliki nama-nama legendaris seperti simbol jagat, bintang sembilan, juga dikenal sebagai ormas yang memiliki lambang bumi. Lambang-lambang itu memiliki makna yang terus menemukan relevansi. Simbol tersebut juga mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika zaman. Kedalaman makna simbol NU tersebut bisa dilihat dari proses penciptaannya, yang memang mengatasi kondoisi-kondisi manusiawi, sehingga makna yang di-sebarkan juga melampaui zaman.

Alkisah, menjelang Muktamar yang waktu itu lazim disebut Kongres, walaupun dalam dokumen resmi kata Muktamar juga digunakan. Pada perhelatan Muktamar ke 2 bulan Robiul Awal 1346 bertepatan dengan Oktober 1927 di Hotel Muslimin Peneleh Surabaya memiliki cerita tersendiri. Kongres ini rencanakan diselenggarakan lebih meriah ketimbang Muktamar pertama, Oktober 1926 yang persiapannya serba darurat. Kala itu Muktamar dipersiapkan lebih matang tidak hanya bidang materi dan manajemennya tetapi juga perlu disemarakkan dengan kibaran bendera. Dengan gagasan tersebut maka mulai terbesiklah keinginan untuk memiliki bendera serta simbol atau lambang jam’yah yang membedakan dengan organisasi lain.

Pada saat itu Kongres kurang dua bulan diselenggarakan, tetapi NU belum memiliki lambang. Keadaan itu membuat Ketua Panitia Kongres KH Wahab Chasbullah cemas. Maka diadakanlah pembi-caraan empat mata di rumah KH Ridwan Abdullah di jalan Kawatan Surabaya. Semula pembicaraan berkisar pada persiapan konsumsi Kongres, yang kala itu dipimpin oleh KH Ridwan Abdullah sendiri. Kemudian pembicaraan beralih kepada lambang yang perlu dimiliki oleh NU sebagai identitas dan sekaligus sebagai mitos. Selama ini memang Kiai Ridwan dikenal sebagai ulama yang punya bakat melukis. Karenanya Mbah Wahab meminta agar dibuatkan lambang yang bagus untuk jam’iyah agar lebih mudah dikenal. Tentu saja permintaan Mbah Wahab yang mendadak tersebut agak sulit diterima, tetapi akhirnya disepakati juga demi khidmat kepada NU. Maka Kiai Ridwan mulai mencari inspirasi. Beberapa kali sketsa lambang dibuat. Tetapi semuanya dirasakan masih belum mengena di hati. Usaha membuat gambar dasar lambang NU tersebut sudah diulang beberapa kali dengan penuh kesabaran. Saking hati-hati dan ingin mendapatkan gambar terbaik, Kiai Ridwan butuh waktu hingga satu setengah bulan untuk meramungkannya. Padahal Kongres sebentar lagi akan digelar.

Sampai tiba waktunya, Kiai Wahab pun datang menagih pesanan gambar dimaksud. Saat itu Kiai Ridwan menjawab, “Sudah beberapa sketsa lambang NU dibuat, tapi rasanya masih belum sesuai.” Mendengar jawaban itu, Mbah Wahab mendesak dengan menga-takan “Seminggu sebelum Kongres sebaiknya gambar sudah jadi lho.” Namun melihat ketidakpastian itu Kiai Ridwan hanya menjawab “Insya Allah.”

Dengan kian sempitnya waktu yang ada, akhirnya Kiai Ridwan melakukan shalat istikharah, minta petunjuk kepada kepada Allah serta qiyamullail untuk inspirasi gambar terbaik. Dalam tidurnya, Kiai Ridwan mendapat petunjuk melalui mimpi, yakni melihat sebuah gambar di langit biru. Bentuknya sama dengan lambang NU yang sekarang.
Pada waktu itu, jam dinding telah menunjukkan jam 02 dini hari. Setelah terbangun, Kiai Ridwan langsung mengambil kertas dan pena. Sambil mencoba meng-ingat-ingat sebuah tanda di langit biru, dalam mimpinya, pelan-pelan simbol dalam mimpi tersebut dicoba divisualisasikan. Tak lama kemudian sketsa lambang NU pun jadi dan sangat mirip dengan gambar dalam mimpinya.

Pagi harinya, sketsa kasar tersebut disempurnakan dan diberi tulisan Nahdlatul Ulama dari huruf Arab dan latin. Akhirnya, sehari penuh gambar tersebut dapat diselesaikan dengan sempurna.

Namun kesulitan selanjutnya adalah bagaimana mencari bahan kain untuk menuangkan lambang tersebut sebagai dekorasi dalam medan Kongres. Saat mencari kain di wilayah Surabaya, ternyata tidak menemukan yang cocok seperti pada petunjuk mimpinya semalam. Tidak putus asa, Kiai Ridwan mencari hingga ke Malang. Syukurlah, kain yang dicari ternyata ada kendati hanya tersisa 4 X 6 meter. Bentuk lambang NU itu dibuat memanjang ke bawah, lebar 4 meter dan panjang 6 meter. Inilah bentuk asli lambang NU sekaligus ukurannya kala itu.

Menjelang pembukaan, simbol NU telah dipasang di arena Kongres. Adanya simbol baru itu menam-bah keindahan suasana. Ketika acara dibuka dan peserta yang berjumlah 18 ribu diperkenalkan dengan symbol jam’iyah itu, mayoritas orang berdecak kagum. Simbol tersebut memang mewakili dinamika abad ke 19 karena pada perjalanan berikutnya terjadi dinamika yang demikian menarik sesuai dengan semangat zaman yang bergerak menuju kemajuan serta didorong semangat perjuangan.

Arti Lambang NU
Dalam pandangan Kiai Ridwan, lambang NU terdiri dari bumi dikelilingi tampar yang mengikat, untaian tampar berjumlah 99, lima bintang di atas bumi (yang tengah berukuran paling besar) dan empat bintang di bawah bumi. Terdapat tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab melintang di tengah bumi dan di bawah bumi ada tulisan NU dalam huruf latin.

Makna lambang NU:
1. Bumi (bola dunia): Bumi adalah tempat manusia berasal, menjalani hidup dan akan kembali. Sesuai dengan surat Thaha ayat 55.
2. Tampar yang melingkar dalam posisi mengikat: Tali ukhuwah (persaudaraan) yang kokoh. Hal ini berdasarkan ayat 103 surat Ali Imran.
3. Peta Indonesia: Melambangkan bahwa NU didirikan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan negara Republik Indonesia.
4. Dua simpul ikatan di bagian bawah melambangkan hubungan vertikal kepada Allah (hablum minallah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablum minannas).
5. Untaian tampar berjumlah 99 melambangkan 99 nama terpuji bagi Allah (Asmaul Husna).
6. Empat bintang melintang di atas bumi bermakna Khulafaur Rasyidin yang terdiri dari Abu Bakar as-Shiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib kw.
7. Satu bintang besar terletak di tengah melambangkan Rasulullah Saw.
8. Empat bintang di bawah bumi melambangkan empat imam madzhab Ahlussunnah wal Jamaah yang terdiri dari Imam Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafii.
9. Jumlah bintang seluruhnya Sembilan, bermakna Walisongo (Sembilan orang wali) penyebar agama Islam di tanah Jawa.
10. Tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab melintang di tengah adalah nama organisasi Nahdlatul Ulama yang berarti ke-bangkitan ulama.
11. Tulisan warna putih bermakna kesucian.

Sebuah Refleksi
Dengan usianya yang kian senja, sudah waktunya seluruh elemen NU untuk kembali merenungi sejarah panjang pendirian jam’iyah ini. Demikian pula sedapat mungkin mencari relevansi semangat dari dicarikannya lambang yang telah dengan susah payah ditemukan.

Penting diingat dan diperjuangkan bahwa berdirinya NU adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunah wal Jamaah dan menganut salah satu dari mazhab empat, di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah NKRI.
Semoga ini akan mengembalikan ghirah dalam berkhidmat kepada organisasi, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Ini penting dengan ter-sebarnya Islam yang rahmatan lil’alamin. (AULA Juni 2010)

26 Sep 2010

HUkum Menakai Cadar

Memakai cadar adalah sebagai bentuk atau cara menutupi wajah, adapun wajah perempuan dihadapan orang laki-laki lain atau bukan mahromnya (orang yang halal menikahi) atau status haram menikahinya itu hanya sementara, seperti adik ipar, adalah termasuk aurat yang haram dilihat menurut pendapat yang mu’tamad (yang dapat dijadikan pedoman). Sedangkan dihadapan mahram atau sesama jenis bukan hal yang haram dilihat, hal ini karena melihat dari definisi aurat, yang mempunyai dua makna;
1. Hal yang wajib ditutupi, yaitu ketika shalat bagi perempuan wajib menutupi auratnya di semua anggota badannya selain wajah dan telapak tangan, walau tidak ada yang melihat bahkan walau di tempat yang sunyi dan gelap karena faktor dogmatif (doktrin agama). Sebagaimana hadis Aisyah;

عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ لَا يَقْبَلُ الله ُصَلَاةَ الحْائِضِ اِلَّا بِخُِمَارِ رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ اِلَّا النَّسَائِىُّ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حُزَيْمَةَ وَفِيْ حَدِيْثِ أَبِيْ دَاوُدَ مِنْ حَدِيْثِ اُمِّ سَلْمَةَ فِيْ صَلَاةِ الْمَرْأَةِ فِيْ دِرْعٍ وَخُمَارٍ لَيْسَ عَلَيْهَا إِزَارٌ وَاِنَّهُ قَالَ إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغْطِىْ ظُهُوْرَ قَدَ مَيْهَا


Dari hadis ini jelas bahwa bagi wanita ketika shalat wajib menutupi semua anggota badan, karena pengertian خُمَارٌ adalah yang menutupi kepala dan leher. Adapun دِرْعٌ pengertiannya adalah menutup dua telapak kaki, sedangkan membuka wajah diperbolehkan dalam shalat karena tidak ada hadis yang memerintahkan. Kalau pakai cadar yang keningnya tertutup justru tidak sah karena sujud harus membuka kening.
2. Pengertian aurat yang kedua adalah sesuatu hal yang haram dilihat dikarenakan dampak negatif yang biasa terjadi dari sebab melihat. Negatif yang dimaksudkan sebagai dampak buruk dari melihat adalah pelanggaran syariat sebagaimana melampiaskan nafsu birahi terhadap sasaran yang dilarang syariat. Seperti ingin mencium, bahkan mengarah berzina. Dengan demikian jika dengan melihat tersebut jelas aman dari keluar syariat atau terjadinya negatif merupakan hal yang langka maka tidak haram. Karena itu syariat mengklasifikasikan aurat perempuan yang haram dilihat dengan mempertimbangkan orang yang melihat. Sebagai berikut;
A. Dilihat sesama jenis. Artinya laki-laki terhadap laki-laki, perempuan terhadap perempuan. Maka diperbolehkan melihat dengan tanpa ada nafsu birahi. Kecuali pada anggota di antara lutut dan pusar. Jika melihat di tempat itu maka haram walau tidak ada syahwat. Sebagaiman ungkapan al-Syaikh Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Hasyiah Ibnu Qasim juz II Hal. 96.

وَسَكَتَ اَلْمُصَنِّفُ عَنْ نَظْرِ الرَّجُلِ إِلَى الرَّجُلِ وَنَظْرُ الْمَرْأَةِ إِلَى اْلمَرْأَةِ فَيَحِلُّ كُلٌّ مِنْهُمَا بِلَا شَهْوَةٍ إِلًّا لِمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ فَيَحْرُمُ وَلَوْ بِلَا شَهْوَةٍ


Ketika keadaan ini jelas tidak ada kewajiban memakai cadar.
B. Melihatnya orang laki-laki lain (orang yang bukan mahram/orang yang halal dinikahi) tidak dalam keadaan hajat. Dalam hal ini ada dua pendapat; pertama, haram melihat pada segala sesuatu yang menjadi anggota badan perempuan termasuk wajah, rambut dan pendapat ini yang banyak dijadikan pedoman karena menutup dari segala terjadinya hal yang negatif dengan sekecil apapun. Dengan mengikuti pendapat ini ketika wanita keluar pada tempat-tempat tanpa ada hajat maka wajib menutup wajahnya. Kedua, haram yang melihatnya pada selain wajah dan telapak tangan perempuan. Tidak haram pada wajah dan kedua telapak tangan, karena melihat firman Allah وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَمِنْهَا “Mereka tidak menampakkan tempat perhiasan mereka kecuali anggota yang nampak.”
Ayat إِلَّا مَا ظَهَرَمِنْهَا diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan wajah dan kedua telapak tangan. Dalam keadaan zaman yang banyak fitnah ini boleh kita taklid pada pendapat ini yang berarti tidak wajib memakai cadar. Sebagaimana ungkapan Syeikh Ibrahim al-Bajuri dalam Hasyiahnya;

وَنَظْرُالرَّجُلِ إِلَى الْمَرْأَةِ عَلَى سَبْعَةِ أَحْزُبٍ اَحَدُهَا نَظْرُهُ إِلَى أَجْنَبِيَّةٍ لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَغَيْرُ جَائِزٍ قَوْلُهُ اِلَى أَجْنَبِيَّةٍ اَىْ اِلَى شَيْءٍ مِنْ إِمْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ اَىْ غَيْرُ مُحَرَّمٍ وَلَوْ أَمَةً وَشَمِلَ ذَلِكَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا فَيَحْرُمُ اَلنَّظْرُ إِلَيْهِمَا وَلَوْ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ أَوْ خَوْفِ فِتْنَةٍ عَلَى الصَّحِيْحِ كَمَا فِىْ الْمِنْهَاجِ وَغَيْرِهِ وَقِيْلَ لاَ يَحْرُمُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَمِنْهَا وَهُوَ مُفَسَّرٌ بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَالْمُعْتَمَدُ اَلْأَوَّلُ وَلَا بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ الثَّانِى لَا سِيَّمَا فِىْ هَذَا الزَّمَانِ اَلَّذِىْ كَثُرَ فِيْهِ خُرُوْجُ النِّسَاءِ فِىْ الطُّرُقِ وَالْأَسْوَاقِ ...إلخ .الباجوري 11 ص 97

C. Laki-laki melihat pada istrinya atau perempuan amat maka boleh pada anggota yang mana saja kecuali pada kelaminnya. Sedang jika melihat kelamin ada dua pendapat; pertama menghukumi haram, tapi pendapat ini lemah. Yang lebih benar adalah pendapat yang kedua, yang memperbolehkan melihat kelamin tapi makruh.

وَالثَّانِى نَظْرُهُ إِلَى زَوْجَتِهِ وَأَمَّتِهِ فَيَجُوْزُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا عَدَا الْفَرْجَ مِنْهُمَا أَمَّا الْفَرْجُ فَيَحْرُمُ نَظْرُهُ وَ هَذَا وَجْهٌ ضَعِيْفٌ وَاْلأَصَحُّ جَوَازُ النَّظْرُ إِلَى الْفَرْجِ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ .(اه أبى شجاع)

Kasus ini jelas tidak harus memakai cadar.
D. Melihat pada mahram. Baik disebabkan nasab atau sesusuan. Maka diperbolehkan pada selain anggota diantara lutut dan pusar selama tidak ada nafsu birahi. Jika ada nafsu birahi maka haram melihat kepada siapapun.

وَالثَّالِثُ نَظْرُهُ إِلَى ذَوَاتِ مَحَارِمِهِ بِنَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ مُصَاهَرَةٍ أَوْ أَمَّتِهِ المُزَوَّجَةِ فَيَجُوْزُ أنْ يَنْظُرَ فِيْمَا عَدَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ . أبى شجاع


E. Melihat wanita karena ingin mengetahui, sebab akan menikahi. Maka boleh melihat pada wajah dan kedua telapak tangan sampai batas ia tahu .( قَدْرِ حَاجَةِ ) Setelah itu (memenuhi batas kebutuhan) maka haram, walau perempuan itu akan dinikahi. Dengan demikian yang biasa dilakukan kebanyakan anak muda sekarang, selalu apel atau bahkan membawa pergi wanita setelah bertunangan apalagi hanya sekedar pacaran, hukumnya adalah haram.

.وَالرَّابِعُ النَّظْرُ لِأجْل ِالنِّكَاحِ فَيَجُوزُ إلىَ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ


F. Melihat untuk pengobatan. Diperbolehkan bagi dokter untuk melihat aurat pasiennya, tapi syaratnya sang dokter wajib meminimalisir dan tidak ada dokter yang sama jenis kelaminnya dengan pasien. Karena diperbolehkannya melihat aurat bagi dokter hanya dlarurat dan harus dihadiri laki-laki mahramnya.

وَكُلُّ مَا أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ قُدِّرَ بِقَدْرِهَا


G. Melihat karena hubungan kerja agar mengenal dan jika ada hal-hal yang terjadi dapat diselesaikan karena sama-sama mengenal, dalam hal ini boleh melihat wajah. Dengan demikian, perempuan yang bekerja seperti melakukan transaksi jual beli tidak wajib memakai cadar agar dikenali.

النَّظْرُ لِلْمُعَامَلَةِ لِلْمَرْأَةِ فِِى بَيْعٍ وَغَيْرِهِ فَيَجُوْزُ النَّظْرُ إِلَى الْوَجْهِ خَاصَّةً


Masih banyak lagi penjelasan tentang perempuan yang wajib pakai cadar dan yang tidak wajib memakai cadar. Silahkan dimuthalaah sendiri.

Abuya Dimyati Al Bantani



Subhanallah… La haula wa laquwata illa billah.

Hanya decak kagum dan ucapan tasbih tak henti-henti yang terungkap, bila Anda menyimak Manakib Abuya Cidahu (Dalam Pesona Langkah di Dua Alam). Sebuah manakib (autobiografi) tentang Abuya Dimyathi, tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Mengisahkan atas rutinitas hal ihwal perjalanan hidup, kisah perjuangan membela tanah air, amalan-amalan yang dilakukan dan hal-hal yang tidak masuk akal lainnya.

Kisah-kisah dari tanah terberkahi

Abuya Dimyathi, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang yang pada masa revolusi fisik kemerdekaan, kabupaten ini dipimpin oleh seorang ulama (KH Abdoel Chalim) seperti daerah Banten lainnya.
Masa kecil Abuya dihabiskan di kampung kelahirannya; Kalahang. Awal menuntut ilmu, Abuya dididik langsung oleh ayahandanya, KH Muhammad Amin bin Dalin. Lalu melanjutkan berkelana menuntut ilmu agama, sampai-sampai dalam usia sudah setengah baya. Di sekitar tahun 1967-1968 M, beliau berangkat mondok lagi bersama putra pertama dan beberapa santri beliau (hal. 168).

Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyathi, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi.

Hal-hal tak masuk akal

"Mahasuci Allah yang tidak membuat penanda atas wali-Nya kecuali dengan penanda atas diri-Nya. Dan Dia tidak mempertemukan dengan mereka kecuali orang yang Dia kehendaki untuk sampai kepada-Nya." (al Hikam)

Wallahu a’lam. Ada banyak cerita tak masuk akal dalam buku ini, namun kadar ”gula-gula” tidaklah terasa sebab penitikberatan segala kisah perjuangan Abuya lebih diambil dari orang-orang yang menjadi saksi hidupnya (kebanyakan dari mereka masih hidup) dan dituturkan apa adanya. Abuya memang sudah masyhur wira’i dan topo dunyo semenjak masih mondok diusia muda. Di waktu mondok, Abuya sudah terbiasa tirakat, tidak pernah terlihat tidur dan istimewanya adalah menu makan Abuya yang hanya sekedar. Beliau selalu menghabiskan waktu untuk menimba ilmu, baik dengan mengaji, mengajar atau mutola’ah. Sampai sudah menetap pun Abuya masih menjalankan keistiqamahannya itu dan tidak dikurangi bahkan ditambah.

Di tahun 1999 M, dunia dibuat geger, seorang kiai membacakan kitab tafsir Ibnu Jarir yang tebalnya 30 jilid. Banyak yang tidak percaya si pengajar dapat merampungkannya, tapi berkat ketelatenan Abuya pengajian itu dapat khatam tahun 2003 M. Beliau membacakan tafsir Ibnu Jarir itu setelah Khatam 4 kali khatam membacakan Tafsir Ibnu katsir (4 jilid).

Cerita-cerita lain tentang karomah Abuya, dituturkan dan membuat kita berdecak kagum. Subhanallah! Misal seperti; masa perjuangan kemerdekaan dimana Abuya di garis terdepan menentang penjajahan; kisah kereta api yang tiba-tiba berhenti sewaktu akan menabak Abuya di Surabaya; kisah angin mamiri diutus membawa surat ke KH Rukyat. Ada lagi kisah Abuya bisa membaca pikiran orang; kisah nyata beberapa orang yang melihat dan bahkan berbincang dengan Abuya di Makkah padahal Abuya telah meninggal dunia. Bahkan kisah dari timur tengah yang mengatakan bahwa Abuya tiap malam jumat ziarah di makam Syech Abdul Qodir al Jailani dan hal-hal lain yang tidak masuk akal tapi benar terjadinya dan ada (berikut saksi-saksi hidupnya).

Buku eksklusif

Keteladanan Abuya dalam menggengam teguh keislaman dengan dorongan ikhlas mendalam yang membuat Abuya dihormati dan selalu dimintai nasehat dan petunjuknya.

Beliau dibesarkan oleh akhlakul karimah dan amalan-amalan wadlifah secara istiqamah yang selalu ia amalkan.Yang diminta seorang arif kepada Allah adalah ketulusan dalam menghamba dan pemenuhan hak-hak ketuhananNya. (al Hikam) Menurut cerita al Mukarrom KH Dimyathi Ro’is Kaliwungu, ketika Abuya di kaliwungu, mengungkapkan bahwa ia belum pernah melihat seorang kiai yang ibadahnya luar biasa dan istimewa seperti Abuya (286).

Satu nilai plus dalam buku ini selain kisah keteladanan nan bersahaja Abuya, kliping-kliping berbagai media tentang beliau dan juga ada terlampirnya foto-foto esklusif warna seorang Kiai Kharismatik Abuya Haji Muhammad Dimyathi.

al Fatihah!



Judul : Manakib Abuya Cidahu (Dalam Pesona langkah di Dua Alam)
Penulis : KH Murtadlo Dimyathi
Penerbit : Ahli Bait Alm Abuya Dimyathi
Edisi : 2008
Tebal : 400 + XXVI halaman
Peresensi : Bejo Halumajaro

hari santripun lahir

Momen 1 Muharam 1413 Hijriyah yang jatuh kemarin ditetapkan 106 pengurus dan pengelola pondok pesantren (ponpes) se-Kabupaten Malang sebagai Hari Santri. Bahkan, akun grup untuk kampanye Hari Santri pun telah dibuat di Facebook dengan nama grup: Aku Bangga Jadi Santri.

Para penggagas kemarin mengumumkan Hari Santri dalam acara peringatan tahun baru Islam 1 Muharam 1431 Hijriyah yang digelar di Ponpes Babussalam, Pagelaran, Kabupaten Malang. Hadir dalam acara itu Yenny Wahid -putri Gus Dur-, Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, KH Kholil As'ad dari Situbondo, plus beberapa kiai.

Thoriq Darwis, pengasuh Ponpes Babussalam menerangkan, penetapan Hari Santri itu akan dikampanyekan ke seluruh pondok pesantren di Malang Raya dan ponpes se-Jatim. Para pengasuh ponpes berkeinginan agar Hari Santri bisa tercatat sebagai hari peringatan nasional. Mengingat mayoritas masyarakat Indonesia memeluk Islam yang di dalamnya ada jutaan santri.

"Saya masih belum tahu bagaimana caranya agar Hari Santri dicatat secara nasional. Tetapi kami akan upayakan semua ponpes tahu adanya Hari Santri. Hari peringatannya sesuai penanggalan hijriah, bukan penanggalan masehi," kata cucu KH Mohammad Said, pendiri ponpes Babussalam.

Thoriq menjelaskan, gagasan menetapkan Hari Santri muncul ketika melihat fenomena banyaknya hari-hari peringatan dalam masyarakat. Hari peringatan itu ada yang berasal dari budaya luar, budaya asli, kepentingan bisnis, dan momen-momen penting.

Mengingat santri juga warga negara dan jumlahnya jutaan jiwa, maka tidak ada salahnya membuat sebuah hari peringatan untuk santri. Toh, keberadaan santri banyak membawa warna dalam masyarakat. Termasuk ikut dalam perjuangan kemerdekaan dan momen-momen penting kenegaraan.

Tentang dipilihnya tanggal 1 muharam, lanjut Thoriq, itu untuk memasukkan semangat hijrah dari yang buruk ke yang baik. Semangat hijrah itu juga digunakan Nabi Muhammad untuk menetapkan tahun hijriah. "Agar seorang santri bangga menjadi santri. Sehingga dia akan memberikan sumbangsihnya bagi kemaslahatan umat. Masak santri kalah sama hantu yang punya hari peringatan Halloween," ungkap Thoriq.

Dengan adanya Hari Santri, kata Thoriq, diharapkan seluruh santri tetap menjalin ukhuwah islamiyah dan tidak terpecah belah. Lebih dari itu, para santri di tahun-tahun mendatang akan selalu ingat dan bangga bahwa mereka adalah lulusan pondok pesantren yang keberadaannya selalu diperingati setiap tahun baru Islam. (yos/ziz)

Sumber:
http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=132821

hukum rokok

Lirboyo Tanggapi Fatwa MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu mewacanakan fatwa rokok haram. Sebagian kalangan menilai bahwa rencana MUI mengeluarkan fatwa rokok haram adalah sepihak. Mereka berdalih kalau rokok diharamkan, maka akan banyak pengangguran dan mengurangi devisa Negara yang didapat dari pajak rokok. Pada 2006 saja, suntikan cukai dan pajak rokok kepada pemerintah mencapai 50 triliun rupiah.
Sementara itu, banyak juga kalangan yang mendukung rencana MUI. Bahkan menurut suatu survei, total biaya konsumsi tembakau adalah Rp. 127,4 triliun, yang digunakan untuk belanja tembakau, biaya pengobatan sakit akibat mengkonsumsi tembakau, kecacatan dan kematian dini.

Selaras dengan itu, Survei Ekonomi dan Kesehatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2003) juga membuktikan keluarga miskin rata-rata mengalokasikan 8-9 persen pengeluarannya untuk belanja tembakau. Sementara itu, pada saat yang sama keluarga miskin hanya mengalokasikan 2,6 persen untuk biaya pendidikan dan 1,9 persen untuk kesehatan dari total pengeluaran.

Pertanyaan
a. Bagaimana menurut fikih formal muatan fatwa MUI berkenaan fatwa rokok haram pada saat sekarang, apakah sudah dianggap proporsional?

Jawaban
Kurang dianggap proporsional karena:
•MUI tidak punya kapasitas untuk melahirkan hukum dari ijtihadnya sendiri, dan referensi hukum haram yang ada merupakan pendapat yang lemah.
•Pertimbangan yang disampaikan MUI belum memenuhi standar untuk memastikan haramnya merokok secara mutlak.

Referensi
1. Anwarul Buruq juz 1 hal. 217
2. Mausu’ah Fiqhiyah juz 11 hal. 101
3. Tuhfatul Muhtaj juz 4 hal. 238
4. Bughyah Mustarsyidin hal. 39

Pertanyaan
b. Apakah status MUI adalah Komisi Fatwa dalam kacamata fikih?

Jawaban
Statusnya adalah sebagai Mufti Majazi/Naqil al-Qoul

Referensi
1. Qowaidul Fiqh li Muhammad ’Amimi juz 1 hal. 565-567
2. Bughyah Mustarsyidin hal. 7
3. Al Faruq juz 4 hal. 53
4. Al Majmu’ juz 1 hal. 42
5. Adabul Fatwa wal Mufti juz 1 hal. 10-13

waktu puasa


Secara bahasa, ash-shiyam (puasa) berarti menahan diri. Sedangkan dalam istilah syara’ puasa adalah menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa, sejak terbitnya fajar hingga matahari tenggelam di ufuk barat. Sebagai mana tersirat dalam firman Allah Swt:
فَاْلآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya: ”Maka sekarang campurilah mereka (isteri-isteri) dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yakni fajar.” (QS. Al-Baqarah; 187)

Hal-hal yang dapat membatalkan puasa ada banyak. Salah satunya, masuknya benda konkret (‘ain) ke dalam anggota tubuh yang berongga (seperti perut dan kepala) melalui anggota tubuh yang berlobang (mulut, hidung, telinga dll).
Dalam penjelasan di atas, setidaknya ada tiga ketentuan yang menjadikan puasa batal, yaitu;
1. benda yang masuk adalah ‘ain (benda konkret),
2. masuk ke dalam rongga tubuh,
3. masuk melalui anggota yang berlobang.
Dari poin ke 2 dan 3 dapat dipahami bahwa suntik dan infus tidak membatalkan puasa karena cairan yang masuk ke dalam tubuh tidak melalui anggota yang berlobang dan tidak sampai pada rongga-rongga tubuh. Begitu juga obat tetes mata, tidak membatalkan puasa karena mata juga bukan termasuk lobang tubuh.
Sedangkan dari poin pertama, perlu dipahami lebih lanjut mengenai benda-benda yang termasuk dalam kategori ‘ain. Secara pengertian, ‘ain adalah benda konkret yang dapat ditangkap oleh panca indera, dapat dilihat, diraba, dan dirasa. Oleh karenanya masuknya udara kedalam tubuh kita melalui mulut atau hidung tidak membatalkan puasa. Sebab, udara bukan termasuk benda konkret (‘ain).
Berbeda dengan asap rokok, meskipun asap rokok juga hanya udara, namun didalamnya terkandung unsur-unsur yang termasuk benda konkret. Hal ini dibuktikan dengan adanya plak berwarna kuning kecoklatan yang dapat dilihat pada filter atau pipa rokok. Dengan demikian dapat dipahaman bahwa merokok dapat membatalkan puasa karena asap rokok termasuk benda konkret (‘ain).
Memang, ada seorang ulama yang pernah menyatakan bahwa menghisap rokok tidak membatalkan puasa, beliau adalah Imam Az-Zayadi. Namun perlu dicatat bahwa Imam Az-Zayadi menyatakan fatwa tersebut sebelum beliau mengetahui lebih dalam bahwa asap rokok termasuk ‘ain. Beliau mengira asap rokok tak ubahnya udara dalam pernafasan kita. Namun setelah beliau tahu bahwa dalam asap rokok terkandung ‘ain, beliau merevisi fatwa beliau, digantikan dengan fatwa baru yang menyatakan bahwa merokok dapat membatalkan puasa. Keterangan ini di ambil dari kitab bughiyatul mustarsyidin halaman 111 sebagaimana berikut:

فَائِدَةٌ : لاَيَضُرُّ وُصُولُ الرِّيحُ بِالشَّمِّ وَكَذَا مِنَ الْفَمِ كَرَائِحَةِ الْبُخُورِ أَوْ غَيْرِهِ إِلَى الْجَوْفِ وَإِنْ تَعَمَّدَهُ ِلأَنَّهُ لَيْسَ عَيْنًا وَخَرَجَ بِهِ مَا فِيهِ عَيْنٌ كَرَائِحَةِ النَّتْنِ يَعْنِي التَّنْبَاكَ لَعَنَ اللهُ مَنْ أَحْدَثَهُ ِلأَنَّهُ مِنَ الْبِدَعِ الْقَبِيحَةِ فَيُفْطِرُ بِهِ وَقَدْ أَفْتَى بِهِ زي بَعْدَ أَنْ أَفْتَى أَوَّلاً بِعَدَمِ الْفِطْرِ قَبْلَ أَن يَّرَاهُ انْتَهَى ع ش
Artinya: ”Tidak berpengaruh (terhadap keabsahan) masuknya udara dengan cara dihirup atau melalui mulut. Seperti halnya menghirup bau dupa meskipun dengan sengaja. Sebab, udara tidak termasuk benda yang konkret (‘ain). Berbeda dengan asap rokok (semoga Allah melaknat pencetus rokok, karena rokok merupakan bid’ah sayyi`ah). Fatwa mengenai batalnya puasa sebab merokok ini juga telah difatwakan oleh Imam Az-Zayadi, meskipun sebelumnya beliau pernah menyatakan bahwa merokok tidak membatalkan puasa, sebelum beliau tahu persis hakikat dari kandungan asap rokok.”

cari kawan yang baik

Oleh: KH. Abdullah Kafabihi Mahrus

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ , وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى اُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدَِّيْنِ, وَالصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ , أما بعد : قال تعالى ؛وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ؛ وقال رسول الله ًصلى الله عليه وسلم ؛ إِذَا خَفِيَتِ الْخَطِيئَةُ لَمْ تَضُرَّ إِلا صَاحِبَهَا، وَإِذَا ظَهَرَتْ فَلَمْ تُغَيَّرْ ضَرَّتِ الْعَامَّةَ .
Pembaca yang budiman,
Dalam pergaulan, sering kali seseorang menganggap remeh etika-etika pergaulan yang dianjurkan dalam agama. Padahal etika itu dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari akibat buruk dari pergaulan itu sendiri. Seorang kawan sangat berpengaruh terhadap pola pikir, tingkah laku, dan bahkan keyakinan seseorang. Dalam sebuah syair arab kuno yang cukup masyhur dikatakan,

عَنْ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَأَبْصِرْ قَرِينَهُ # فَإِنَّ الْقَرِينَ بِالْمُقَارِنِ يَقْتَدِي
فَإِنْ كَانَ ذَا شَرٍّ فَجَنِّبْهُ سُرْعَةً # وَإِنْ كَانَ ذَا خَيْرٍ فَقَارِنْهُ تَهْتَدِي
Janganlah bertanya tentang (diri) seseorang (secara langsung, namun cukup) lihatlah siapa kawannya. Sesungguhnya seorang kawan senantiasa mengikuti kawannya. Bila sang kawan adalah orang yang bersifat buruk maka jauhilah segera. (Sebaliknya) jika ia bersifat baik maka jadilah kawannya, niscaya anda akan mendapatkan petunjuk.

Dalam hal ini nabi Saw. Mengatakan,
اَلْمَرْءُ عَلَى دِيْنِِ خَلِيْلِهِ
“Seseorang mengikuti keyakinan kawannya”
Tidak diragukan lagi akan pengaruh yang dibawa seorang kawan. Karena itu wejangan dari para ulama salaf sangat perlu diperhatikan. Di antara wejangan itu adalah;

1. Berteman dengan orang yang baik fikirannya; hal ini agar kita dapat mengambil pilihan terbaik ketika menghadapi masalah. Berteman dengan orang yang bodoh (dalam arti tidak tahu diri, egois, dan mementingkan diri sendiri) hanya akan merusak tali kasih yang mempersatukan keduanya. Nabi mengatakan,
الْبَذَاءُ لُؤْمٌ ، وَصُحْبَةُ الْأَحْمَقِ شُؤْمٌ
“Berkata kotor adalah tercela, berkawan dengan orang yang tidak beres akalnya adalah kesialan”

2. Baik agamanya. Karena orang yang tidak baik agamanya hanya akan membawa kepada marabahaya, baik bahaya dalam urusan dunia maupun agama. Allah Azza Wa Jalla berfirman,

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
“jangan kau ikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan, dan mengikuti hawa nafsunya”
Ayat ini diturunkan Allah pada Nabi, agar nabi tidak mengikuti orang-orang kafir yang tidak mengindahkan ajakan dan ajaran agama Nabi. Berkawan dengan orang yang kurang baik agamanya, mungkin tidak menjadi masalah bagi orang yang kuat menahan diri dari pengaruh-pengaruh luar. Namun bagaimana dengan orang yang mudah terbawa arus.

3. terpuji perilaku dan akhlaknya. Berkawan dengan orang yang buruk akhlaknya hanya akan memancing permusuhan dan merusak akhlak baik yang sudah tertanam dalam diri. Sebagian ulama mengatakan,
مِنْ خَيْرِ الِاخْتِيَارِ صُحْبَةُ الْأَخْيَارِ ، وَمِنْ شَرِّ الِاخْتِيَارِ صُحْبَةُ الْأَشْرَارِ
“Berkawan dengan orang yang baik (akhlaknya) adalah pilihan yang baik, berkawan dengan orang yang buruk (akhlaknya) adalah pilihan yang buruk”

Pembaca yang budiman,
Melihat maraknya cara bergaul yang salah pada generasi muda kita, sudah sepatutnya kita kembali pada tatacara dan akhlak pergaulan yang dianjurkan oleh agama. Bukan hanya untuk melindungi diri sendiri, melainkan untuk melindungi masyarakat secara umum.
Maraknya pelanggaran larangan-larangan agama dalam pergaulan, seperti percampuran antar lawan jenis yang bukan mahram, konsumsi barang-barang haram, dan lain sebagainya yang seringkali memicu tindak kriminal, asusila, dan mungkar, hendaknya dilihat sebagai kritik dan ukuran bagi masyarakat kita, apakah sudah menjalankan aturan syariat atau belum.
Hendaknya setiap orang benar-benar memperhatikannya. Karena jika sebuah penyimpangan telah meluas dan menjadi kebiasaan di masyarakat, yang tertimpa musibah bukan hanya para pelakunya saja. Bahkan masyarakat yang membiarkan kemungkaran itu sendiri juga akan tertimpa. Dalam sebuah hadis dikatakan,
إِذَا خَفِيَتِ الْخَطِيئَةُ لَمْ تَضُرَّ إِلا صَاحِبَهَا، وَإِذَا ظَهَرَتْ فَلَمْ تُغَيَّرْ ضَرَّتِ الْعَامَّةَ
“Ketika kesalahan (kemungkaran) tersamar maka tidak akan berbahaya kecuali bagi pelakunya, dan ketika tampak kemudian tidak ada yang merubahnya maka akan berbahaya bagi banyak orang (sekitar yang tahu)” (HR. At-Thabrani {1010})
Pembaca yang budiman,
Generasi muda adalah tiang punggung umat di masa mendatang. Oleh karena itu hendaknya kita awasi, agar tidak mudah terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Jangan sampai mereka benar-benar terjerumus ke dalam jurang yang sangat dalam dan membuat mereka putus asa. Sehingga dengan mudah mereka mengatakan, “sudah terlanjur”. Yang belum terjerumus mari kita jaga, dan yang sudah terjerumus ke dalam pergaulan yang salah mari kita sadarkan. Karena pepatah kuno mengatakan,
شُبَّانُ الْيَوْمِ رِجَالُ الغَدِ
“Pemuda saat ini adalah generasi (yang akan mengisi kelangsungan umat) di hari esok”

Semoga negeri kita diselamatkan dari yang demikian, dan dijadikan negeri yang makmur, bersih dari berbagai penyimpangan dan kemungkaran. Amin.

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

6 cara agar semangat dan berubah

Rutinitas yang monoton seringkali menimbulkan KEJENUHAN. Hal itu sebetulnya manusiawi. Meski demikian, kita tidak boleh membiarkannya berlarut-larut. Kejenuhan yang dibiarkan mengendap dapat merusak kualitas kerja dan mengganggu secara psikologis. Paling tidak, ada 6 hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi kejenuhan.

1. Perluas Cakrawala

Manusia terus berkembang, termasuk otak kita. Karena itu otak perlu ditambahi hal-hal baru. Untuk keperluan itu, perluaslah pengetahuan dengan cara terus belajar terhadap hal-hal baru. Menimba ilmu tidak harus melalui sebuah instansi. Tetapi bisa dilakukan sendiri, misalnya membaca buku atau belajar dari lingkungan sekitar.

2. Buat Tantangan Baru

Seperti saat kita masih kanak-kanak, setiap kali mendapat mainan baru, hari-hari akan dilewati bergelut dengan barang-barang baru tersebut. Tapi setelah seminggu berlalu, akan muncul kebosanan. Demikian juga tentang rutinitas sehari-hari yang digeluti orang dewasa. Bedanya dengan anak-anak, sebagai orang dewasa dituntut untuk bertahan dan menyesuaikan diri dengan kebosanan itu. Untuk mengatasi hal ini, anda bisa mencari tantangan baru diluar pekerjaan rutin, misalnya ikut yoga atau hal-hal lain yang belum dikuasai. Hal ini dimaksudkan untuk menstimulasi minat anda.

3. Membuat Perubahan

Bertemu, melihat dan melakukan hal-hal yang sama dari hari ke hari pasti membuat bosan. Untuk menepis kebosanan itu, anda bisa melakukan perubahan pada hal-hal kecil yang anda jumpai setiap hari. Misalnya, letak meja di kantor, atau mungkin wallpaper di komputer yang anda gunakan setiap hari, dandanan rambut, atau bahkan rute anda menuju tempat kerja.

4. Ubah Bahasa Tubuh

Mungkin bahas tubuh merupakan hal paling sederhana yang jarang kita perhatikan. Namun, sikap tubuh memiliki efek nyata terhadap suasana hati seseorang. Orang yang merasa bosan biasanya duduk merosot, menekuk wajah dan terlihat muram. Ketika kebosanan mulai menyergap, cobalah untuk duduk tegak dan tebarkan senyum.

5. Ciptakan Kenyamanan

Setiap orang secara alamiah menyukai keadaan yang membuatnya nyaman. Suasana yang cozzy mendorong orang untuk selalu senang. Jika anda penggemar musik, dapat mendengarkan musik kesayangan anda sembari bekerja. Atau mungkin anda bisa merubah ruang kerja sebagai tempat yang nyaman. Bisa juga menciptakan suasana yang ramah dan penuh canda tawa bersama rekan kerja.

6. Ambil Libur

Jika semua hal diatas telah anda lakukan dan kejenuhan masih melanda, manfaatkan setiap Sabtu dan Minggu untuk benar-benar menikmati liburan. Tak perlu pergi ke tempat wisata, anda bisa berlibur dan bersantai dengan keluarga di rumah. Banyak hal yang dapat anda lakukan untuk membuat rileks, misalnya nonton film atau mungkin sekedar jalan-jalan ke mall bersama keluarga. Dijamin kejenuhan akan hilang dan anda makin dekat dengan keluarga.

******************************************************

Diambil dari tulisan …” 6 Cara Tetap Semangat “

Majalah KARTINI No. 2186 – 22 Feb s/d 8 Maret 2007

Cara menghafal AL Qur'an

Memperbaiki tujuan dan bersungguh-sungguh menghafal Al-Quran hanya karena Allah Subhanahu wa Ta`ala serta untuk mendapatkan syurga dan keridhaan-Nya. Tidak ada pahala bagi siapa saja yang membaca Al-Quran dan menghafalnya karena tujuan keduniaan, karena riya atau sumah (ingin didengar orang), dan perbuatan seperti ini jelas menjerumuskan pelakunya kepada dosa.


1. Dorongan dari diri sendiri, bukan karena terpaksa.
Ini adalah asas bagi setiap orang yang berusaha untuk
menghafal Al-Quran. Sesungguhnya siapa yang mencari
kelezatan dan kebahagiaan ketika membaca Al-Quran maka dia
akan mendapatkannya.

2. Membenarkan ucapan dan bacaan. Hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan mendengarkan dari orang yang baik bacaan Al-Qurannya atau dari orang yang hafal Al-Quran. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri mengambil/belajar Al-Quran dari Jibril alaihis salam secara lisan. Setahun sekali pada bulan Ramadhan secara rutin Jibril alaihis salam menemui beliau untuk murajaah hafalan beliau. Pada tahun Rasulullah shallallahualaihi wa sallam diwafatkan, Jibril menemui beliau sampai dua kali. Para shahabat radliallahu anhum juga belajar Al-Quran dari Rasulullah shallallahualaihi wa sallam secara lisan demikian pula generasi-generasi terbaik setelah mereka. Pada masa sekarang dapat dibantu dengan mendengarkan kaset-kaset murattal yang dibaca oleh qari yang baik dan bagus bacaannya. Wajib bagi penghafal Al-Quran untuk tidak menyandarkan kepada dirinya sendiri dalam hal bacaan Al-Quran dan tajwidnya.

3. Membuat target hafalan setiap hari.

Misalnya menargetkan sepuluh ayat setiap hari atau satu halaman, satu hizb, seperempat hizb atau bisa
ditambah/dikurangi dari target tersebut sesuai dengan kemampuan. Yang jelas target yang telah ditetapkan sebisa mungkin untuk dipenuhi.
4. Membaguskan hafalan.
Tidak boleh beralih hafalan sebelum mendapat hafalan yang sempurna. Hal ini dimaksudkan untuk memantapkan hafalan di hati. Dan yang demikian dapat dibantu dengan mempraktekkannya dalam setiap kesibukan sepanjang siang dan malam.


5. Menghafal dengan satu mushaf.
Hal ini dikarenakan manusia dapat menghafal dengan melihat sebagaimana bisa menghafal dengan mendengar. Dengan membaca/melihat akan terbekas dalam hati bentuk-bentuk ayat dan tempat-tempatnya dalam mushaf. Bila orang yang menghafal Al-Quran itu merubah/mengganti mushaf yang biasa ia menghafal dengannya maka hafalannya pun akan berbeda-beda pula dan ini akan mempersulit dirinya.

6. Memahami adalah salah satu jalan untuk menghafal. Di antara hal-hal yang paling besar/dominan yang dapat membantu untuk menghafal Al-Quran adalah dengan memahami ayat-ayat yang dihafalkan dan juga mengenal segi-segi keterkaitan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya. Oleh sebab itu seharusnyalah bagi penghafal Al-Quran untuk membaca tafsir dari ayat-ayat yang dihafalnya, untuk mendapatkan keterangan tentang kata-kata yang asing atau untuk mengetahui sebab turunnya ayat atau memahami makna yang sulit atau untuk mengenal hukum yang khusus. Ada beberapa kitab tafsir yang ringkas yang dapat ditelaah oleh pemula seperti kitab Zubdatut Tafsir oleh Asy-Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar. Setelah memiliki kemampuan yang cukup, untuk meluaskan pemahaman dapat menelaah kitab-kitab tafsir yang berisi penjelasan yang panjang seperti Tafsir Ibnu Katsier, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir As-Sadi dan Adhwaaul Bayaan oleh Asy-Syanqithi.wajib pula menghadirkan hatinya pada saat membaca Al-Quran.

7. Tidak pindah ke surat lain sebelum hafal benar surat yang sedang dihafalkan. Setelah sempurna satu surat dihafalkan, tidak sepantasnya berpindah ke surat lain kecuali setelah benar-benar sempurna hafalannya dan telah kokoh dalam dada.

8. Selalu memperdengarkan hafalan (disimak oleh orang lain). Orang yang menghafal Al-Quran tidak sepantasnya menyandarkan hafalannya kepada dirinya sendiri. Tetapi wajib atasnya untuk memperdengarkan kepada seorang hafidz atau mencocokkannya dengan mushaf. Hal ini dimaksudkan
untuk mengingatkan kesalahan dalam ucapan, atau syakal ataupun lupa. Banyak sekali orang yang menghafal dengan hanya bersandar pada dirinya sendiri, sehingga terkadang ada yang salah/keliru dalam hafalannya tetapi tidak ada yang memperingatkan kesalahan tersebut.

9. Selalu menjaga hafalan dengan murajaah. Bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam :
Jagalah benar-benar Al-Quran ini, demi Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, Al-Quran lebih cepat terlepas daripada onta yang terikat dari ikatannya. Maka seorang yang menghafal Al-Quran bila membiarkan hafalannya sebentar saja niscaya ia akan terlupakan. Oleh karena itu hendak hafalan Al-Quran terus diulang setiap harinya. Bila ternyata hafalan yang ada hilang dalam dada tidak sepantasnya mengatakan: Aku lupa ayat (surat) ini atau ayat (surat) itu. Akan tetapi hendaklah mengatakan: Aku dilupakan, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah bersabda: (..arab..)

10. Bersungguh-sungguh dan memperhatikan ayat yang serupa. Khususnya yang serupa/hampir serupa dalam lafadz, maka wajib untuk memperhatikannya agar dapat hafal dengan baik dan tidak tercampur dengan surat lain.

11. Mencatat ayat-ayat yang dibaca/dihafal. Ada baiknya penghafal Al-Quran menulis ayat-ayat yang
sedang dibaca/dihafalkannya, sehingga hafalannya tidak hanya di dada dan di lisan tetapi ia juga dapat menuliskannya dalam bentuk tulisan. Berapa banyak penghafal Al-Quran yang dijumpai, mereka terkadang hafal satu atau beberapa surat dari Al-Quran tetapi giliran diminta untuk menuliskan hafalan tersebut
mereka tidak bisa atau banyak kesalahan dalam penulisannya.

12. Memperhatikan usia yang baik untuk menghafal. Usia yang baik untuk menghafal kira-kira dari umur 5 tahun sampai 25 tahun. Wallahu alam dalam batasan usia tersebut. Namun yang jelas menghafal di usia muda adalah lebih mudah dan lebih baik daripada menghafal di usia tua. Pepatah mengatakan: Menghafal di waktu kecil seperti mengukir di atas batu, menghafal di waktu tua seperti mengukir di atas air.

HAL-HAL YANG DAPAT MENGHALANGI HAFALAN
Setelah kita mengetahui beberapa kaidah dasar untuk menghafal Al-Quran maka sudah sepantasnya bagi kita untuk mengetahui beberapa hal yang menghalangi dan menyulitkan hafalan agar kita dapat waspada dari penghalang-penghalang tersebut.

Di antaranya:

1. Banyaknya dosa dan maksiat.
Sesungguhnya dosa dan maksiat akan melupakan hamba terhadap Al-Quran dan terhadap dirinya sendiri. Hatinya akan buta dari dzikrullah.

2. Tidak adanya upaya untuk menjaga hafalan dan mengulangnya secara terus-menerus. Tidak mau
memperdengarkan (meminta orang lain untuk menyimak) dari apa-apa yang dihafal dari Al-Quran kepada orang lain.

3. Perhatian yang berlebihan terhadap urusan dunia yang menjadikan hatinya tergantung dengannya dan selanjutnya tidak mampu untuk menghafal dengan mudah.

3. Berambisi menghafal ayat-ayat yang banyak dalam waktu yang singkat dan pindah ke hafalan lain sebelum kokohnya hafalan yang lama. Kita mohon pada Allah Subhanahu wa Ta`ala semoga Dia mengkaruniakan dan memudahkan kita untuk menghafal kitab-Nya, mengamalkannya serta dapat membacanya di tengah malam dan di tepi siang. Wallahu alam bishawwab.

(Ummu Abdillah & Ummu Maryam, dinukil dari kutaib: Kaifa
Tataatstsar bil Quran wa Kaifa Tahfadzuhu? oleh Abi
Abdirrahman)

sumber: milis assunnah

Sumber : http://matasalman.wordpress.com

BERDIRINYA PPTQ ALHASAN PONOROGO


Pondok Pesantren Tahfizul Qur’an (PPTQ) al-Hasan adalah salah satu pondok pesantren yang meramaikan dunia santri di wilayah bumi reog,tepatnya barat kota lama.yang mengambil spesifik al-Qur’an dan kitabnya juga berperan.Pondok ini bertempat di Jl. Parang Menang No. 32 Patihan Wetan Babadan Ponorogo. Lembaga tersebut didirikan oleh KH. Husein Aly, MA pada tahun 1984.
Kehadiran pondok pesantren Tahfizul Qur’an al-Hasan ini diawali dari pertemuan antara KH. Husien Aly, MA dengan tokoh Masyarakat Patihan Wetan yang bernama Bapak Qomari dan juga sesepuh pondok di wilayah itu,yakni kyai Magfur atau lebih dikenal Mbah Magfur pada sekitar tahun 1983.
Sewaktu itu KH. Husein mendapat undangan sima’an di rumah beliau selama sebulan. Melihat KH. Husein mengaji dan berhasil beberapa khataman dalam sebulan akhirnya Bapak Qomari tergugah hati untuk mengangakat KH. Husein menjadi anak angkatnya. Ternyata dari KH. Husein sima’an itu KH. Hamid Kajoran Magelang juga penasaran kepada beliau, dan akhirnya Bapak Qomari dengan KH. Husein pergi ke rumah KH. Hamid. Karena KH. Hamid melihat bahwa Bapak Qomari hartanya mencukupi untuk mendirikan pesantren dan ilmunya KH. Husein sudah mencukupi untuk memimpin suatu pesantren, maka segeralah KH. Hamid memerintahkan mereka untuk segera mendirikan pesantren. Karena dukungan beliaulah selang setahun Bapak Qomari dan KH. Husein mendirikan pondok pesantren.
Pondok pesantren yang beliau dirikan diberi nama al-Hasan. Karena nama al-Hasan sendiri dinisbatkan pada ayahnya Bapak Qomari yaitu bernama Hasan Arjo dan saudara kembar KH. Husein bernama Hasan, namun sudah meninggal di usia belia. Dengan penamaan al-Hasan inilah, Kyai Husein ingin mengenang dua orang tersebut.

18 Sep 2010

Pentingnya Meluruskan Akidah

Oleh: KH M Anwar Manshur


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْهَادِيْ لِلْعِبَادِ إِلَى الْمَنْهَجِ الرَّشِيْدِ وَالٍمَسْلَكِ السَّدِيْدِ ، اَلْمُنْعِمِ عَلَيْهِمْ بَعْدَ شَهَادَةِ التَّوْحِيْدِ بِحَراسَةِ عَقَائِدِهِمْ عَنْ ظُلُمَاتِ التَّشْكِيْكِ وَالتَّرْدِيْدِ ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى الْمُصْطَفَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ الْمُرْسَلِ إِلَى أَهْلِ التَّوْحِيْدِ ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أُوْلِي الْمَـآثِرِ وَالتَّأْيِيْدِ . أما بعد



Pembaca yang arif…

Di tengah-tengah musibah yang melanda di berbagai daerah negara kita, hendaknya itu semua menjadi cambuk atas kelalaian kita. Mungkin selama ini kita terlalu sibuk mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi, sehingga lalai dengan perintah Allah. Allah memperingatkan kita agar segera bertaubat. Ketahuilah! Berapa banyak nikmat yang telah kita rasakan, betapa besar anugerah yang telah diberikan-Nya kepada kita. Sudahkah kita bersyukur? Atau sebaliknya, kita justru kufur atas nikmat tersebut dengan berbuat dosa? Kita teliti diri kita masing-masing! Sesungguhnya Allah tidak akan menghilangkan nikmat yang diberikan pada suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengkufuri nikmat tersebut, sebagaiman firman Allah:



ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Amfal: 53)

Dari ayat di atas, kita bisa mengetahui bahwa Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkanNya kepada suatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah. Sebagaimana umat-umat terdahulu, karena mereka tidak mau beriman kepada Nabi-Nabi yang diutus Allah, mereka akhirnya dibinasakan. Telah jelas, bahwa kerusakan di darat dan lautan disebabkan oleh ulah tangan-tangan manusia, seperti firman Allah dalam ayat lain.



Pembaca setia…

Kita sebagai penganut Ahlussunnah wal Jamaah, meyakini segala sesuatu yang terjadi – baik dan buruknya – semata-mata adalah kehendak Allah dan ciptaanNya. Termasuk juga perbuatan kita, jelek dan buruknya adalah ciptaan Allah. Segala sesuatu di dunia ini tidak mungkin lepas dari apa yang telah digariskan Alah pada zaman azali, qadla’ dan qadar-Nya-lah yang mendahului. Allah berfirman:

اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّار

Artinya: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS. Ar Ra’du: 16)

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS. As Shaffat: 96)



Meskipun segalanya adalah kehendak Allah, dan Allah-lah yang menjadikannya. Tetapi tidaklah patut menyandarakan kejelekan kepadaNya. Musibah, bencana, dan mala-petaka yang selama ini menimpa kita, itu akibat dari dosa-dosa kita serta kelalaian kita atas perintahNya. Yang demikian itu adalah sikap yang benar bagi seorang hamba. Seorang hamba harus mempunyai akhlak (tata krama) terhadap Tuhannya. Maka, hendaknya segala kebaikan disandarkan kepada Allah, dan segala kejelekan disandarkan pada diri kita sendiri, yakni disebabkan oleh perbuatan kita sendiri. Walaupun pada hakikatnya, semua itu dari Allah SWT semata, sebagaimana firman Allah:

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

Artinya: “Apa saja (nikmat) yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja (bencana) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri” (QS. An Nisa’: 79)



Pembaca yang budiman…

Kalau ada yang bertanya: “Jika semua yang terjadi; yang dialami manusia; bahkan perbuatannya sendiri, yang menjadikan adalah Allah. Lalu untuk apa Allah memerintahkan beribadah serta menjahui laranganNya; menurunkan syariat untuk umat manusia; mengutus Rasul; menciptakan surga dan neraka sebagai balasan amal-amal manusia, dan lain sebagainya? Sedangkan manusia tidak mampu apa-apa, neskipun untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia adalah majbur (terpaksa), tak ubahnya seperi debu yang berterbangan ke sana kemari tertiup oleh angin.” Maka, pertanayaan seperti itu tidak bisa dibenarkan seperti apa yang diyakini oleh kaum Jabariyah. Jabariyah adalah golongan yang mempunyai keyakinan bahwa manusia tidak memiliki kehendak dan kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Mereka meniadakan perbuatan manusia, dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah (segalanya atas kodrat Tuhan, manusia tidak mempunyai ikhtiar/ pilihan). Keyakinan ini bertolak belakang dangan keyakinan kaum Qodariyah yang meyakini bahwa, manusia mempunyai kekuasan mutlak dan kebebasan untuk menentukan segala perbuatan sesuai dengan keinginannya, tanpa ada campur tangan dari Allah. Allah hanyalah menciptakan saja, selanjutnya Dia tidak ikit campur. Seperti pembuat jam dinding, setelah jadi, jam itu berputar sendiri tanpa campur tangan si pembuatnya.

Maka, yang tepat untuk jawaban pertanyaan di atas ialah, bahwa Allah Maha Perkasa untuk membuat segala sesuatu sesuai kehendak-Nya. Allah yang memiliki semuanya, dan Dia berhak untuk berbuat apa saja terhadap apa yang dimilikiNya. Dan itu, bukan suatu kelaliman. Allah tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya. Tapi manusialah yang akan ditanya oleh Allah sebagaimana firmanNya:

لاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُوْنَ

Artinya: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya dan merekalah yang akan ditanyai.”(QS. Al Anbiya’: 23)

يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ

Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh mahfuzh).”. (QS. Ar Ra’du: 39)



Pembaca yang kami hormati…

Oleh karena itu, kita harus benar-benar memahami bahwa, semua perbuatan hamba -jelek dan baiknya- yang menjadikan adalah Allah. Namun Allah memberi ikhtiar kepada hamba-Nya, diberi pilihan untuk memilih jalannya menuju kebaikan atau kejelekan. Dan “pilihan” itulah yang menjadi manathuttaklif (ikatan pembebanan syariat Allah atas seorang hamba). Kemudian ikhtiar tersebut diwujudkan dengan kasb/ iktisab (perbuatan manusia), yang karenanya pahala dan siksa akan ada dan tetap. Ini adalah hikmah agung dan sirri yang sangat dalam, jarang diketahui oleh kebanyakan orang. Jadi, menisbatkan perbuatan hamba kepada Allah merupakan penisbatan (penyandaran) secara hakiki, karena Allah yang menghendaki dan menciptakannya. Sedangkan penisbatan perbuatan terhadap hamba adalah penisbatan majazi, karena hamba di sini berposisi sebagai pelaku bukan pencipta. Maka dari itu, bila kita melihat seseorang sedang makan, minum, salat, dan lainnya, tidak boleh dikatakan: “Allah sedang makan, minum, atau salat.” Karena pelaku (fa’il)-nya adalah manusia, bukan Allah, walaupun Allah yang menciptakan (khaliq) perbuatan itu. Pemahaman di atas sebagaimana yang telah dipaparkan dalam Ihya’ ‘Ulum al Din oleh Al Ghazali, salah satu pengikut Al Asy’ari pemuka Ahlussunnah wal Jamaah. Oleh sebsb itu, luruskan keyakinan kita, kokohkan akidah kita, agar jangan sampai berburuk sangka kepada Allah. Kita hanyalah seorang hamba yang tak memilki apa-apa termasuk diri kita sendiri.



Pembaca yang bijak…

Jika kita mendengar satu hadis Nabi SAW:

كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ {رواه البخاري}

ِArinya: “Setiap hamba diberi kemudahan menuju apa yang telah dijadikan (takdirkan) untuknya” ( HR. Bukhari)

Maka, bisa dipahami, ada suatu pertanda, yakni: apabila seorang hamba selama hidupnya berbuat kebaikan, taat terhadap Allah, maka dia dikehendaki Allah menjadi orang yang baik diridlaiNya. Sebaliknya, jika selama hidupnya dia selalu berbuat kemaksiatan atau dosa, berarti dia dijadikan orang yang jelek dan celaka. Akan tetapi itu hanyalah sebuah “alamat” (tanda), bukan suatu kepastian. Maka, kita tidak boleh mencela, apalagi melaknat pelaku-pelaku dosa, karena belum tentu orang tersebut ditakdirkan sebagai orang yang jelek atau su-ul khatimah. Ketahuilah, bahwa setiap hamba diberi kemudahan menuju takdirnya.

Sebagaimana telah dipaparkan Ibn Hajar dalam Fath Al Bari, bahwa tidak ada yang mengetahui, apakah di akhir hayatnya, seseorang akan su-ul khatimah atau husnul khatimah? Oleh karena itu, kita harus bersungguh-sungguh dalam usaha menjalani perintah, menjadi orang yang diridlai Allah. Kita tidak boleh bermalas-malasan dengan alasan pasrah pada takdir Allah, akibatnya kita akan menjadi orang-orang yang tercela dan kelak mendapat siksa di akhirat akibat meninggalkan perintah. Karena amal perbuatan merupakan pertanda bagi seorang hamba, maka kita harus lebih tekun lagi dalam menjalaini perintah-Nya. Semoga Allah memberi kemudahan dalam meniti takdir kita, semoga kita ditakdirkan menjadi orang baik. Dan jangan lupa untuk berdoa, meminta petunjuk dan pertolongan kepada-Nya. Nas-alullaha husnal khatimah, amin…

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

asal mula al hasan

Magelang, pertengahan tahun 1983. Petang belum menjelang saat Husein tiba di kediaman KH A Hamid di Kajoran Magelang. Bersama KH Qomar, ayah angkatnya, Husein hanya ingin sowan pada kiai yang tersohor sebagai waliyullah itu. Percakapan singkat tuan rumah dan tamu itulah yang kelak menentukan berdirinya PP al-Hasan.

“Ilmu yang kau peroleh sudah saatnya kau amalkan,” titah Kiai Hamid. Dua orang tamunya hanya mengangguk. “Caranya, segera dirikan pesantren di tempat yang kau tinggali saat ini,” kiai sepuh itu melanjutkan perintahnya.

Husein, kala itu berusia 30 tahun, sebenarnya masih kurang pede untuk merintis pesantren. Ia merasa ilmunya jauh dari cukup untuk mengasuh para santri. Namun, berbekal dukungan dari Kiai Hamid Kajoran, ia bismillah saja. Lokasi yang dipilih adalah tanah wakaf dari ayah angkatnya, KH Qomar, di kelurahan Patihan Wetan Ponorogo. “Tanggal berdirinya 7 Juli 1984. Jadi, hampir satu tahun setelah dawuh Kiai Hamid,” kata KH Husein Ali, nama lengkapnya.

Kiai Qomar sendiri, selain menjadi kiai di kelurahan itu, juga dikenal sebagai kontraktor sukses yang sangat mencintai al-Quran. Pengusaha santri itu hampir saban minggu mengadakan semaan al-Quran di rumahnya. Salah satu hafidz langganannya adalah santri bernama Husein Ali, yang kemudian ia ambil sebagai anak angkatnya.

Nama al-Hasan sendiri dinisbatkan pada nama ayah Kiai Qomar, yaitu Kiai Hasan Arjo. Selain itu saudara kembar Kiai Husein juga bernama Hasan, namun ia meninggal di usia belia. Dengan penamaan al-Hasan inilah, Kiai Husein ingin mengenang dua orang tersebut. “Tentunya, saya tafaulan pada cucu kanjeng nabi, Sayyidina Hasan,” terangnya.
Hingga kini, ciri khas PP al-Hasan adalah pengajaran Qiraah Sab’ahnya. “Insya Allah, di daerah Karesidenan Madiun, hanya PP al-Hasan yang mengajarkan Qiraah Sab’ah,” kata Rais Syuriah PCNU Ponorogo 1997-1999 ini.

Di pesantren yang lokasinya cukup dekat dengan STAIN Ponorogo ini, para santri di pagi harinya dibebaskan bersekolah di luar pesantren. Sebab, al-Hasan hingga kini belum memiliki lembaga pendidikan formal. Selain di MA terdekat, ada pula beberapa santri yang kuliah di STAIN, maupun Institut Sunan Giri yang lokasinya juga tak jauh dari al-Hasan.

Hanya saja, meski menghafalkan al-Quran, tapi tak semua santri berminat mendalami Qiraah Sab’ah. Menurut Kiai Husein, dari dua puluh orang huffadz yang diwisuda, hanya satu orang yang berminat. “Sebab mempelajari variasi qiraah dari tujuh imam, memang sangat berat.” kata penasehat Jamiyatul Qurra’ wal Huffadz Jatim ini seraya tersenyum. Begitu beratnya, hingga kadang-kadang hafalan al-Qurannya hilang. Belum lagi durasi waktu yang lumayan lama.

Menurut ayah tiga orang anak yang semuanya hafidzul Quran ini, ada kesankesan unik ketika mengasuh para calon penghafal al-Quran. Ia terkesan dengan seorang santri bernama Muallif yang berasal dari Trenggalek. Ia hanya ber-pendidikan SD dari keluarga kurang mampu. Tanpa bekal sedikitpun, ia nekat sowan ke Kiai Husein mengutarakan niatnya menghafal al-Quran. Berbekal niat yang kuat ia menghafal al-Quran, sambil bekerja serabutan. Karena kegigihannya inilah, teman-temannya memberi gelar Mbah Sunan. “Hafalannya baik, suaranya juga bagus. Tajwidnya juga tanpa cela,” kisahnya. Tahun 1993 kebetulan ada Musabaqah Hifdzul Quran (MHQ) di Madiun. Oleh Kiai Husein, Mbah Sunan didelegasikan menjadi peserta lomba. Karena penampilannya yang katrok; perawakan kecil, wajah kurang manarik, dan kulitnya juga hitam legam, para juri lomba menganggap remeh Mbah Sunan. “Kiai, mbok ya santri panjenengan di make up sedikit, biar penampilan-nya lebih oke,” canda seorang juri pada Kiai Husein. “Lho, jangan lihat bungkusnya. Yang penting itu substansinya alias kemampuannya,” jawab Kiai Husein memberi jaminan, sambil terkekeh.

Jaminan mutu dari Kiai Husein manjur, para juri terperangah mendengar lantunan al-Quran dari bibir Mbah Sunan. Hasilnya, sosok yang sempat diremehkan ini menjadi kampiun I MHQ se-Karesidenan Madiun. “Saat ini Mbah Sunan ngajar ngaji di desanya,” kata Mustasyar PCNU Ponorogo ini.

Selain kisah Mbah Sunan, ada beragam kisah unik lainnya. Ia menyebut kisah seorang santri eksentrik dari Yogyakarta. Namanya Arif Irfan. Selain menghafalkan al-Quran, ia juga belajar di STAIN Ponorogo. Di mata teman-teman-nya, Arif dikenal sebagai santri yang hobi keluyuran. Pamitnya nonton bioskop, cangkruk di warkop, dll. Tak pernah ia terlihat nderes al-Quran di kamarnya. Tahu-tahu ia selesai setoran hafalan pada Kiai Husein. Tak dinyana, dalam jangka waktu satu tahu, ia telah menguasai al-Quran di luar kepala. Teman-temannya hanya geleng-geleng kepala melihat keberhasilan Arif. Menurut Kiai Husein, ketika Arif pamit nonton bioskop pada teman-temannya, sebenarnya ia tidak ke lokasi pemutaran film. Justru ia mampir ke masjid. “Agar tak diketahui teman-temannya, ia bergonta-ganti masjid,” terang Kiai Husein sambil tersenyum mengingat kecerdikan Arif. Di beberapa masjid inilah ia nyicil hafalan al-Quran hingga ia diwisuda sebagai hafidz pada 1998.

Hingga kini, dalam berbagai ajang perlombaan MHQ, MTQ, maupun MQK (Musabaqah Qira-atul Kutub), terutama di kawasan Karesidenan Madiun, delegasi al-Hasan hampir menjadi langganan juara. Bahkan, grup hadrah al-Hasan menempati peringkat II berturut-turut pada lomba Hadrah Karesidenan Madiun 2008 dan 2009.

Ijazah dari Mbah Arwani

Kiai Husein merupakan pen-datang dari Jejeran Wonokromo Yogyakarta. Masa mudanya ia habiskan berkelana dari satu pondok ke pondok lainnya. Guru pertamanya adalah KH Ali Masykur, ayah kandungnya. Melalui ayah-nya, ia menghafal al-Quran di usia belia. Saat ayahnya wafat, Husein masih duduk di bangku MTs. Di usia muda itu ia lalu dititipkan ibunya pada KH A Muchith Nawawi. Sesekali, ia ikut ngaji pada KH Muhyiddin Nawawi. Keduanya adalah kiai terkemuka di Wonokromo Yogyakarta. “Alhamdulillah, di desa kelahiran saya, terdapat ratusan huffadz. Menurut Mbah Mundzir (Pengasuh PP Maunah Sari bandar Kidul Kediri-red) mudahnya para penduduk menghafalkan al-Quran karena disana ada 41 makam auliya,” terang Kiai Husein. Selepas itu Husein muda melanjutkan perjalanan menuntut ilmu pada KH Abuya Dimyati, Pandeglang, Banten.

Bertahun tahun berguru pada Mbah Dim, Husein kembali mengembara. Kali ini ia terdampar di pesantren yang diasuh oleh KH Abdullah Umar, Semarang. Di pesantren spesialis pendalaman tafsir ini, Husein mondok selama enam bulan. “Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, saya mengajar kitab pada masyarakat sekitar pondok. Istilahnya ngaji privat,” katanya tersenyum mengenang masa mudanya. Upahnya sebagai guru ngaji itulah yang ia gunakan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bekal membeli kitab. Kadangkala ia juga didundang ceramah maupun se-maan al-Quran.

Selepas itu, ia kembali mondok. Kali ini ia memilih berguru kepada KH Arwani Kudus. Ke-butuhan sehari-harinya ia penuhi dengan mengajar ngaji secara privat, memenuhi undangan ce-ramah, hingga semaan al-Quran. Di pesantren al-Quran ini, Husein betah hingga tiga tahun lamanya. Melalui silsilah keilmuan Mbah Arwani inilah, Husein mem-peroleh ijazah Qiraah Sab’ah. Berbekal ijazah itu ia me-ngembangkan pesantren spesialis Qiraah Sab’ah.

Hingga kini, jumlah santri PP al-Hasan berjumlah 230 putra–putri. “Itu belum termasuk santri kalong (non-mukim),” terang kiai yang aktif sebagai mubaligh ini Para santri ini datang dari ber-bagai daerah, meskipun mayoritas dari Sumatra. Untuk memenuhi jangkauan pengajaran al-Quran, Kiai Husein melebarkan sayap dengan mendirikan PP al-Hasan II di Dusun Carat Kauman Sumoroto, sekitar lima kilometer arah barat PP al-Hasan I.

“Alhamdulillah, berkat doa para masyayikh dan dukungan masyarakat, kedua pesantren ini tetap semangat dalam memasyarakatkan al-Quran,” terang Kiai Husein. (AULA No.04/XXXII April 2010)
Diposkan oleh Bacaan Kiai, Santri & Pemerhati di 01.33

22 Feb 2010

soal jawab hukum MLM

Hukum Bisnis MLM

Assalamu'alaikum wr. wb,
Langsung saja ustadz, ana mau tanya tentang MLM dari Cina (Tiens/tianshi group) yang juga diikuti oleh aa gym dan hasim muzadi.yang mau saya tanyakan adalah:
1. Hukum MLM itu sendiri menurut syariat?
2. Manfaat dan Mudharatnya ikut MLM tersebut?
3. Adakah keterkaitannya dengan jaringan bisnis Yahudi dan antek-anteknya dari berbagai segi, baik royalti, produk, sistem maupun yang lainnya.
jajakallah khairon katsiran,
Wassalamu'alaikum wr. wb,


JAWABAN:

Dewasa ini banyak sekali kita temukan jenis bisnis baru berupa MLM (Multi level Marketing), yaitu suatu system penjualan barang atau jasa secara langsung kepada konsumen melalui para distributor yang berlevel, dimana para distributor sesuai level masing-masing akan mendapatkan fee jika dapat menjual produk dalam jumlah tertentu.

Dalam hal ini, kami tidak akan menjawab satu persatu perusahaan MLM yang ada, karena keterbatasan kami mendalami informasi dari perusahaan tersebut. Oleh karena itu dibawah ini akan kami sampaikan batasan-batasan umum tentang bisnis MLM yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Dan focus kami pada pertanyaan no. 1, 2 dan 3 di atas:

Jawaban pertanyaan No.1 (Apa hukum MLM sendiri menurut syariat?)

1. Pada dasarnya hukum asal dalam muamalah adalah mubah kecuali ada dalil/alasan yang mengharamkannya. MLM adalah jenis muamalah kontomporer yang secara umum dalam fiqih disebut bai (jual beli).
2. Ba’i (jual beli) dapat dibenarkan jika memenuhi kriteria:tidak mengandung riba, ghoror (penipuan), kezhaliman, dan jahalah (tidak transparan). Oleh karena itu, tidak boleh menjual sesuatu yang fiktif hanya sekedar mencari down line (seperti arisan berantai/money game) serta tidak dibenarkan menjual barang atau jasa yang diharamkan.
3. Ciri khas sistem MLM terdapat pada jaringannya, oleh karena itu harus diperhatikan transparansi penentuan biaya untuk menjadi anggota, jangan sampai biaya pendaftaran anggota terlalu tinggi tanpa ada barang yang seharga atau mendekati biaya pendafataran tersebut. Sebab jika hal ini terjadi maka akan terjadi “penjualan” sesuatu yang tidak ada barangnya (jahalah/ketidakjelasan)
4. Peningkatan posisi dengan nilai insentifnya (gajinya) terdapat di seluruh perusahaan. Oleh karena itu adanya level tertentu pada sistem MLM dengan insentif yang menyertainya adalah boleh selama transparan dan tidak menzalimi down line atau pihak lain.
5. Seorang distributor boleh mengambil keuntungan dari penjualan langsung yang dilakukannya serta boleh mengambil prosentase keuntungan disebabkan usaha down line-nya asal saja sesuai dengan perjanjian yang disepakati bersama dan tidak terjadi kezhaliman.
6. Tidak diperbolehkan adanya biaya perpanjang keanggotaan yang tidak logis, apalagi biaya tersebut hanya sekedar untuk keuntungan perusahaan atau insentif up line-nya saja, karena hal itu suatu kezaliman dan jahalah (ketidakjelasan) serta mengambil yang bukan hak-nya. Sebab keuntungan perusahaan bukan pada banyaknya mengeluarkan kartu anggota tapi jumlah penjualan produk. Namun jika biaya perpanjang keanggotaan itu logis, misalnya seharga penggantian kartu anggota yang sudah tidak berlaku, maka hal itu diperbolehkan.



Jawaban pertanyaan no. 2: (Apa manfaat dan madharatnya ikut MLM tersebut?)

1. Pada dasarnya dalam setiap perdagangan akan mendapat manfaat (keuntungan) dan madharat (kerugian). Demikian juga halnya dengan sistem MLM
2. Di antara manfaat mengikuti MLM: (1)mendapat wawasan dalam hal ilmu pemasaran saat pelatihan yang diadakan, (2)bertambah rekan dan persaudaraan, minimal dengan up line dan down line-nya (3)mendapat wawasan kepercayaan diri karena digembleng agar menjadi anggota yang sukses dan mencapai target-target.
3. Sedangkan madharatnya antara lain: (1)Sering lebih berorientasi keduniaan sehingga karena terlena dan ngoyo dengan target tertentu, yang pada akhirnya akan meninggalkan/mengurangi ibadah/kegiatan dakwah. Hingga di suasana dakwah-pun tidak terlepas menawarkan/membicarakan produk/sistem MLM-nya (2)Pada perusahaan tertentu, dalam pertemuan tertentu, terjadi ikhtilat antara laki-laki dan wanita, serta dengan hiburan-hiburan tertentu yang tidak sesuai dengan akhlak islami, jika hal ini terus berlanjut akan mengalami penurunan ruhiyah. (3)Terjadi kejenuhan. Baik produknya yang jenuh akibat tingginya harga padahal ada produk sejenis di pasaran harganya lebih murah dan kualitasnya sama bahkan lebih baik, atau kejenuhan sikap terutama dialami oleh downline-downline di level bawah sehingga melahirkan kekecewaan



Jawaban pertanyaan no. 3 (Adakah keterkaitannya dengan jaringan bisnis Yahudi dan anteknya?)

1. Sulit untuk menjawab pertanyaan ini, karena diperlukan penyelidikan dan investigasi
2. Yang mungkin bisa disampaikan dalam hal ini adalah “is’al dhomirok” (tanyakanlah hati anda sendiri). Jika hati anda nyaman, silakan lanjutkan. Jika tidak, sebaiknya berhenti saja. Rasulullah saw bersabda, “

دع ما يريبك الى ما لا يريبك

Tinggalkanlah sesuatu yang membuat dirimu ragu kepada sesuatu yang tidak membuatmu ragu.(HR: Ahmad dan Tirmidzi)

Wallahu a’lam bisShowab

http://muhammadjamhuri.blogspot.com